Masa Pra Pragan
Bukti sejarah
yang tertua menyentuh negeri Burma berhubungan dengan rute jalan tua melintas
daratan antar Cina dan Barat, yang menyebrangi daerah bagian utara negeri ini.
Petunjuk pertama pemakainnya tahun 128 SM, ketika Chang Ch’ien menemukan hasil
negeri Cina dari propinsi Szechuan, di Bactria. Langkah-langkah diambil untuk
menghubungkannya tetapi hanya pada tahun 69 Cina menemukan perfektur Yung Ch’ang
menyebrangi Mekong dengan markas besarnya di timur Salween, kira-kira 60 mil
dari perbatasan Burma sekarang. Rakyat yang menyarankan disebut Ai-lao, yang
dikatakan dibawa kekuasaan 77 “bangsawan daerah”. Mereka melubangi hidungnya dn
memakai anting-anting di telinga. Segera setelah pendirian perfektur itu mereka
berontak. Dengan menekan pemberontakan mereka di sana lahir kedamaian seabad
selama itu rakyat di luar mereka, yang di sebut oleh orang Cina, Tun-jen-i dan
Lu-lei, mengirim utusan-utusannya. Mereka diperkirakan bermukim dibagian utara
Burma.
Tahun
97 utusan-utusan datang dari Tan atau Shan dari kekaisaran Romawi tiba di Yung’
Ch’ang melalui route darat utara. Mereka mungkin datang dari Tani, sebelah
timur delta Nil. Pelancong-pelancong antara kekaisaran Romawi dan Cina memakai
route lautan dan singgah sebentar melalui jalan darat menyeberang Tanasserim.
Jadi tahun 131-132 armada Tan dalam perjalanan ke Tongking, kemudian di tanagan
Cina, dikatakan telah menggunakan jalan ini, sebagaimana juga utusan dagang
dari kekaisaran Romawi ke Cina tahun 166 dan pedagang Ch’in Lun tahun 226.
Dongeng
Buddha orang-orang Burma mengatakan pengaruh India masuk ke Burma pesisir
melalui pantai. Dalam jataka daerah itu disamakan dengan Suwarnabhumi, negeri
emas. Sebuah cerita populer orang-orang Burma mengatakan dua orang bersaudara
Tapusa dan Palikat, telah diberi delapan helai rambut kepala oleh Gautama. Ini
dibawa melalui laut ke negeri emas dan disucikan di Pagoda Shawe Dagon, yang
dipuja di Rangoon sekarang. Babad Mon berisi dongeng yang menceriterakan
bagaimana Sona dan Uttara, dua orang pendeta Buddha, ditugaskan ke negeri emas
oleh synoda Buddha ke tiga Pataliputera sekitar tahun 241 SM. Tetapi begitu
jauh berkenaan dengan bukti sejarah, tidak ada sisa-sisa masuknya pengaruh
India sebelum didapatnya fragmen buku suci Pali di Hmawza ( Srikesetra atau
Prome Lama) tahun sekitar 500 M.
Geographia
karangan Ptolemy menunjukkan secara kasar garis pantai yang sama dengan pantai
Arakan dan Burma sampai Sejauh Teluk “Sabara“ (Martaban). Yang disebut Argyra
tepat benar dengan situasi di Arakan, ia menyebut chryse sebagai tetangganya.
Ia menyebut suku bangsa yang kanibalistis yang menghuni muara sungai yang oleh
para cendekiawan diperkirakan di daerah moulmien. Ini mungkin mengandung arti
penting karena nama-nama itu ada hubungannya dengan nama Vesunga, sebuah
pelabuhan yang disebut dalam jataka.
Dalam
hubungan dalam penaklukkan Fan shih-man, Raja Besar Funan, yang telah disebut
pada bab sebelumnya tentang kerajaan Buddha, Lin-yang, yang diperkirakan
terletak di Burma Tengah. Jika benar demikian, kapan masuknya aliran Buddha?
Apakah dari India melalui route daratan di utara? Tulisan-tulisan Cina dari
abad ke IV seterusnya menunjukkan adanya suku-suku yang liar yang bisa membuat
keributan di barat daya Yug-Ch’ang, dan terutama suku Pyu, yang badannya di
tato, memakai busur dan panah dan beberapa diantaranya kanibal dan tanpa
busana. Di luar mereka kira-kira 3000 li di barat daya Yug’Ch’ang ada sebuah
masyarakat yang beradab, masyarakat P’iao, yang seperti masyarakat Pyu, menurut
ingatan setempat, yang masih ada merupakan penduduk Burma yang paling awal.
Ibu
kotanya, Srikshetra, disebut pada abad VII oleh Hsuan-tsang dan I-tsing, dua
orang Cina yang telah melakukan perjalanan keagamaan. Dongeng-dongeng tentang
masyarakat ini datang dari daerah antara Halin di distrik Shwebo da Prome.
Prasasti-prasasti dari kedua tempat ini berasal dari abad VII atau sebelumnya.
Prasasti pada guci tanah liat, yang arti dan maknanya berhasil diungkapkan oleh
almarhum Otto Blagden, menyebut dinasti Wikrama memerintah di Prome sedikitnya
dari tahun 673 sampa tahun 718. Tiga orang raja disebut-sebut:
· Suryawikrama,
mangkat tahun 688, jadi berusia 64 tahun
· Hariwikrama,
mangkat tahun 695, jadi berusia 41 tahun
· Sihawikrama,
mangkat tahun 718, jadi berusia 44 tahun
Tahun-tahun
itu bersifat sementara karena zamannya tidak disebutkan. Bila ini “zaman Burma”
seperti diperkirakan, yang mulai tahun 638, ini mungkin ada benarnya sebagai
zaman Pyu di bawah dinasti ini. Prasasti-prasasti juga diketemukan dengan nama
dinasti Warman, tetapi dimana memerintahnya belum diketahui. Namun itu
menunjukkan kemungkinan pengaruh Pallawa dari Conjeweram.
Srikshetra,
sekarang Hwamza, satu-satunya tempat peninggalan Pyu yang diselidiki
dengan seksama, telah memberikan banyak
bahan-bahan berharga bagi para arkeolog. Di sana ada sisa tembok kota yang
banyak dan kokoh, meliputi area yang lebih luas dari Pagan atau Mandalay dengan
parit-parit luar dan dalam yang mengesankan. Pentingnya kota ini ditunjukkan
oleh kenyataan bahwa prasasti-prasasti Mon sampai terakhir yang mengenai
pemerintahan Kyanzittha (1084-1112) masih menyebut ibu kotanya Srikshetra. Di
dekatnya terdapat 3 (tiga) stupa Buddhis
besar-besar, yang tingginya 150 kaki. Juga ada sejumlah tempat-tempat suci
kecil dengan bentuk atap melengkung , yang merupakan prototype candi-candi
Pagan . Banyak patung batu sebagai relief menurut gaya seni Gupta,
patung-patung kecil disekelilingnya, mata uang perak mugkin simbolis, dengan
lukisan-lukisan yang cermat tentang matahari, bulan dan bintang-bintang dan
lempengan-lempengan tanah liat yang berwarna merah bertuliskan doa-doa dengan
dongeng Sansekerta dalam huruf-huruf Nagari.
Peninggalan-peninggalan
keagamaan bercampur dan terpadu. Banyak patung bata Wisnu, patung-patung kecil
dari perunggu untuk Awalokiteswara dan Bodhisattwa Buddha Hinayana yang lain,
di samping kelompok-kelompok patung dan prasasti-prasasti berbahasa Pali, yang
menunjukkan Buddha Hinayana telah berkembang di sana sejak tahun-tahun
permulaan. Mayat dibakar dan abunya disimpan
dalam periuk di Pagoda atau dikuburan luas beralas batu bata yang
ditutup dengan tanah. Sebelumnya telah disebut tentang Dinasti Chandra dari Vaisali,
raja-raja Arakan pertama yang dibuktikan oleh tulisan-tulisan. Sumber yang sama
menyebut Dinasti ke dua, didirikan dalam abad VIII oleh Sri Darmawijaya, yang
cucunya menikah dengan seorang putri Raja Pyu di Srikshetra.
Dalam
abad VIII dan IX Negara T’ai di Nanchao menduduki daratan dan pesisir Burma
lebih luas lagi. Rajanya, Kolofeng (748-779) mendirikan benteng untuk mengawasi
hulu Irrawaddhy dan memasukkan suku-suku setempat ke dalam pasukannya. Beliau
punya hubungan dengan Pyu, yang mungkin menjadi bawahannya, karena
serdadu-serdadu Pyu bekerja unutk pasukan Nanchao merebut Hanoi tahun 863.
Peperangannya yang membuka jalan tua ke India menyeberangi daratan Burma. Salah
satu jalan menebus ibu kota Pyu” mungkin ini adalah Halin” dari sana menanjak
ke Chindwin sampai perbatasan Manipur. Ada tanda-tanda bahwa Burma bagian utara
pada masa ini memperlihatkan banyak perkembangannya. Penulis-penulis masa kini
menyebut hasil emas, garam, kuda ternak bertanduk panjang, gajah untuk
membajak, batu akik dan banyak lagi yang lain-lain.
I-mou-hsun,
cucu dan pengganti Holofeng, mengirim hadiah pemain-pemain musik ke istana
T’ang tahun 800. Dalam tahun 801-802 raja Pyu mengirim utusan resmi, diiringi
oleh 35 orang pemaian musik, ke Cina lewat Nanchao. Perhatian Cina terhadap Pyu
cukup baik dan buku sejarah T’ang berisi laporan tertulis tentang ibu kota Pyu.
Orang-orang Cina juga menyebutkan bahwa tahun 802 “pemberontak-pemberontak Mon”
(Nanchao) menyerbu ibu kota Pyu dan memberangkatkan 3000 tawanan ke Yunanfu.
Pyu
menuntut kedaulatan atas 18 daerah/negeri bawahannya terutama di dataran rendah
Burma. Salah satunya, Mi-chen, yang rajanya mendapat pengakuan dari Cina tahun
805 dan pada tahun 835 telah dihancurkan oleh Nanchao. Diantaranya juga
negara-negara K’un lun dekat pelabuhan Mo-ti-po, dari sini Jawa dan Palembang
dapat di capai. Ini adalah negara-negara Mon. Kerajaan Dwarawati di lembah
menam adalah pusat kekuatan Mon, dan abadVII menguasai bagian Tenasserim.
Prasasti Mon tertua adalah dari abad ke
VIII diketemukan di Lpburi. Negara-negara Mon di Burma dan Siam tetap
memelihara hubungannya satu dengan yang lain da atas dorongan pengaruh
kebudayaan India mengembangkan peradaban yang tinggi.
Negara-negara
K’un-lun memukul mundur serangan Nanchao yang menghancurkan Mi-chen. Ahli-ahli
bumi bangsa Arab menyebut daerah dataran rendah Burma dengan nama Ramannadesa (
Ramannyadesared), “daerah Mon”. Kata itu adalah adaptasi dari kata kuno Mon
Rmen. Kemudian orang-orang Burma menyebutnya Talaing, oleh karena itu
menyamakannya dengan daerah India, Telinggana, yang ada hubungan kebudayaan
antara keduanya. Babad Mon menunjukkan pembangunan ibu kota mereka, Hamsawati,
sekarang Pegu, pada tahun 825. Pegan, ibu Kota Burma, masuk sejarah tahun 849.
Tahun tradisional mengenai pembangunan tembok-temboknya oleh Pynpye. Dikatakan
dibentuk oleh kesatuan 19 desa. Bila tahun itu benar, pembakaran terhadap
penduduk ibu kota, Pyu, di utara menyebabkan gerakan pengungsi ke selatan yang
akan membentuk formasi suatu pusat baru di pagan. Babad Burma mendorong ke
belakang pendiriannya pada abad II, tetapi ada kesuliatan yang tidak dapat
diatasi dalam cara menerima hipotesis ini.
Kekaisaran
Pagan (1244-1287)
Anawrahtalah
(1044-1077) pertama sekali menyatukan Burma secara politis dan membina
kebesaran Pagan. Tetapi beliau tokoh besar tidak begitu legendaris daripada
seorang tokoh sejarah. Lagipula tidak ada sebuah prasastipun yang berasal dari
masa-masa pemerintahannya, kecuali dalam lempengan-lempengan doa yang ditulis
pendek-pendek. Hasil karyanya cukup nyata dan memberi kesan abadi pada negeri
dan rakyatnya. Beliau menyatakan di bawah lindungannya sebagian besar apa yang
disebut burma asli, bersama-sama dengan bagian utara Arakan dan dataran rendah
Burma, negeri Mon itu. Ke timur beliau mengirim ekspedisi memasuki negeri Shan,
tetapi tanpa maksud menambahkan ke wilayah kerajaannya, karena beliau membangun
barisan 43 sebuah pos sepanjang bagian timur kaki bukit untuk mempertahankan
Shan agar jangan sampai memasuki dataran
rendah. Babad Siam menyebut bahwa beliau menyerang Kamboja dan memerintah atas
apa yang disebut Siam, mendapatkan Buddha Hinayana, yang ditegakkan sebagai
agama resmi di Pagan, dari Nakorn dan Pat’on. Tetapi rupanya tidak ada dasar
sejarah yang menerima kesimpulan itu.
Karyanya
yang paling penting adalah penaklukkan kerajaan Mon, Thaton. Tradisi
menyebutkan bahwa beliau mengambil seorang pendeta Mon, Shin Arahan, dan
menugaskan untuk menjadikan orang-orang Burma pemeluk Buddha Hinayana. Ini
berakhir dengan pertikaian melawan kelompok pendeta yang terkenal sebagai Ari,
yang menguasai dataran tinggi Burma. Mereka menganut Mahayana dan menjalankan
upacara tantris dan upacara yang erotis. Untuk mendapatkan salinan buku suci
Pali, Tripitaka, untuk memberikan pelajaran yang benar bagi rakyat, beliau
menaklukkkan Thaton, yang memiliki 30 set lengkap, di bawa ke Pagan, rajanya
bernama Manuha dan rakyatnya semuanya berjumlah 30.000 jiwa. Garis besar cerita
itu dapat diterima oleh para sejarawan. Bagian bangunan untuk menawan raja yang
tertangkap dan istananya masih ada seperti juga bangunan perpustakaan,
Tripitataik, yang dibangun untuk menyimpan buku-buku suci itu.
Sekarang
Pali menjadi bahasa suci orang-orang Burma dan abjad Mon diterima untuk
menuliskan bahasa Burma. Abad pertama sejarah Pagan dikuasai oleh Mon, bahasa
prasasti masa ini Pali atau Mon. Tetapi Buddhisme yang telah di bawa dari
Thaton bukan Hinayana. Bukti tulisan dan arkeologi menunjukkan dengan jelas
bahwa buddhisme Pagan, menurut Luce, “bercampur Mahayanisme, dan menjelang masa
akhir dinasti itu sedikitnya dengan tantrisme. Tinggal yang tidak meragukan
adalah pemujaan gua Naga yang dalam dan pemujaan Nat”. Dan di ruangan mahkota
raja Manuha di tempat suci Nampaya di selatan Pagan relief-relief rata raksasa
Hindu menunjukkan betapa eratnya hubungan kedua agama itu. Selanjutnya meskipun
tradisi menyebut Buddhagosha membawa Buddhisme Pali ke Thaton tahun 403 dari
Ceylon, bukti sejarah tetap menunjukkan bahwa pengaruh sebenarnya atas
Buddhisme Thaton bukan Ceylon melainkan Conjeweram, yang menjadi pusat terkenal
dalam abad V di bawah Dhammapala, seorang komentator besar. Prasasti-prasasti
Mon tertua dalam tulisan-tulisan Pallawa.
Babad-babad
itu berisi cerita tentang hubungan dengan Ceylon dalam pemerintahan Anawarahta.
Chola menyerang, menyebabkan Wijaya Bahu muncul di Pagan untuk membantu.
Anawarahta mengirim hadiah yang mahal sebagai pertukarannya, kemudian ketika
beliau berhasil mengusir penyerang-penyerang itu, Wijaya Bahu mengirim lagi ke
Pagan para Bhiksu dan salinan buku suci untuk membantunya dalam tugas untuk
membangun kembali. Ini dikirim dan sebaliknya raja-raja Burma menerima hasil
tiruan yang sangat indah dari Gigi Kandy, yang disucikan dan di puja di bawah
Pagoda Swezigon. Betapapun kebenaran cerita itu, arti pentingnya terletak pada
kenyataan bahwa dalam abad XI Conjeweram tidak lagi menjadi pusat Buddha yang
besar; Brahmanisme telah mendapat kemenangan di situ. Kemudian Ceylon
menggantikannya sebagai pusat Buddha Theravada.
Penaklukkan
Thaton oleh Anawrahta merupakan peristiwa penting dalam sejarah Burma.
Peradaban Mon lebih tinggi daripada Burma dan pengaruh tawaran-tawaran Thaton
adalah besar, meskipun barangkali kurang penting daripada pembukaan pintu ke
laut , sebagai hasil atas penguasaan delta Irrawaddhy, lagi pula karya Anawahta
menjamin kejayaan Buddha Theravada yang pada saatnya menjadi faktor yang paling
kuat dalam kehidupan nasional Burma. Tetapi candi pagon yang indah itu belum
berdiri sampai sesudah masa pemeritahannya. Beliau mendirikan pagoda-pagoda
yang kuat, bukan candi-candi. Pagoda Swezigon yang mulai dibangun tahun 1059,
merupakan monumennya yang utama dan ini penting karena salah satu hiasannya
adalah sederetan tempat-tempat suci untuk Tiga Puluh Delapan Nat. Pemujaan Nat,
bentuk animisme burma sendiri, yang sangat penting sebagai unsur penunjang
basis kebudayaan di Asia Tenggara secara keseluruhan, terus berkembang dengan
kekuatan yang melemahkan pikiran manusia pada saat-saat tertentu dari yang
tertinggi turun ke bawah. Ayat-ayat suci Pali yang memperkenalkan etika Buddha,
akhirnya mencetuskan kekuatan moral yang memadai untuk membebaskan mereka dari
keburukan praktek animisme mereka. Tetapi Buddha harus terikat dengan agama
lama dan dengan demikian ada dalam dua bentuk: satu sangat dekat terjalin
dengan Buddhisme, dan ke dua tidak ada hubungannya dengan apa-apa dan tidak
disenangi oleh para biarawan.
Penaklukkan
Mon oleh Anawrahta mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan rakyat. Mulailah pertengkaran oleh
orang-orang Burma dan para Bhiksu yang berlanjut sepanjang sejarah Burma, dan
yang mennyebabkan pada pertengahan abad XIX pembatasan yang keras bagi para
Bhiksu sebagai sekelompok rakyat. Suatu pemberontakan para Bhiksu benar-benar
mengakibatkan berhentinya dengan tiba-tiba kekuasaan Sawlu ( 1077-1084) putera
dari Anawrahta. Tetapi Pagan di selamatkan oleh putera Anawrahta yang lain,
yang berhasil mengalahakan para Bhiksu dan nak tahta. Raja Kiyanzittha (
1084-1112), sebagaimana dikenal dalam babad, mengangkat keluarga kerajaan Burma
ke tingkat yang lebih tinggi daripada dari yang telah dicapai sebelumnya.
Beliau dinobatkan secara besar-besaran dengan upacara yang bersidat Brahmana,
mendirikan istana untuk dirinya, dan membuat serentetan prasasti sebagian bsar
dalam bahasa Mon, yang digolongkan sebagai kesusasteraan. Menurut cerita beliau
diasingkan di daerah Mon selama kekuasaaan ayahnya. Beliau bersimpati kepada orang-orang Mon dan
menganut kebudayaannya. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa, setelah di tindas
pemberontakan mereka, tidak ada kekacauan lagi dari mereka selama waktu yang
cukup panjang.
Kyanzittha
menghidupkan lagi praktek mengirimkan utusan ke Cina. Dua yng dikirmnya: tahun
1103 dan 1106, mungkin dimaksudkan untuk mencoba memudahkan perdagangan lintas
darat dengan Yunan, yang telah hidup lagi setelah Nanchao dijajah Cina akhir
abad IX. Beliau juga raja Burma pertama yang ikut aktif dalam kegiatan di candi
Mahabodi di Buddhagaya. Pekerjaan merestorasi yang dilaksanakan di sana atas
perintahnya, dicatat dalam prasasti dalam bahasa Mon di Pagoda Shwehsandaw di
Prome.
Beliau
mendapat giliran dikunjungi oleh seorang putera mahkota Chola, yang banyak
dispekulasikan. Harus diingat bahwa Chola telah menyerang Sriwijaya tahun 1025,
menaklukkan Kedah tahun 1068-1069 telah mengembangkan kebudayaan perdagangan
yang luas dengan Asia Tenggara dan telah mengirim utusan-utusan ke Cina. Apa
yang dikerjakan oleh putera mahkota Chola itu di Pagan? Mugnkin jawabannya
adalah bahwa beliau seorang penyelidik untuk mengembangkan perdagangan atau
melancong yang ingin memperkaya pengetahuan bukan seorang penguasa sebuah
koloni Tamil di daerah delta. Seperti diperkirakan tadinya. Belum terbukti
bahwa pernah ada koloni semacam itu di Burma. Apak bukan contoh lain tentang
mythe kolonisasi yag bertumbuh dengan melalui pemakaian istilah “koloni” yang
diartikan sama dengan sebuah tempat tinggal pedagang-pedagang murni dan
sederhana.
Cerita
Kyanzittha tercatat pada prasasti yang di buat oleh Alaungsithu (1112-1167)
yaitu cucu sekaligus pengganti beliau, di Pagoda Myazedi, di selatan Pegu,
tahun 1113. Ini disebut batu Rosetta Burma, karena teks yang sama terdapat pada
ke empat bidang sisinya dalam bahasa-bahasa Pyu, Mon, Burma dan Pali.
Penemuannya tahun 1911 melengkapi bukan saja sebagai kunci bagi bahasa Pyu
tetapi juga bagi tahun-tahun para raja awal di Pagan.
Pemerintahan
Alaungsithu memperlihatkan dua gambaran yang sangat penting yang sangat kontras.
Satu, banyak di sebut dalam babad-babad, adalah seorang raja Buddha yang ideal,
yang mengadakan perjalanan jauh, dan luas keseluaruh kerajaannya memancarkan
karya-karya kebajiakan dan gubahan prasasti-prasasti yang mencerminkan
pikiran-pikiran yang dalam tentang keduniaan yang lain, yang dilahirkan dalam
bentuk puisi yang tak terkalahkan dalam kesusasteraan negerinya. Bangunannya
yang terindah, candi Thatpinnyu, diresmikan tahun 1144. Gayanya menyerupai gaya
candi Ananda, tetapi bagian tengahnya menjulang lebih tinggi sebelum mulai
bangiannya yang meruncing. Semangat yang mengilhami Alaungsithu dalam
karya-karya keagamanannya mencapai ekspresinya yang sempurna dalam doa
berbahasa Pali yang dituliskan alam Pagoda Shwegu. Mutatis-Mutandis, menonjolkan
aspirasi kesucian abad pertengahan dalam agama Kristen.
Gambaran
yang lain adalah pemberontakan dan kekacauan. Raja pada tahun-tahun awal
menghadapi pemadaman pemberontakan-pemberontakan di Tanasserim dan bagian utara
Arakan. Sebuah prasasti di Buddhagaya memperingati
perbaikan-perbaikan yang dilakukan di sana atas permintaan Alaungsithu oleh
seorang raja Arakan sebagai tanda hormat karena membantu pengusiran seorang
perampas kekuasaan. Tetapi lamanya raja tidak hadir di ibu kota menyebabkan
mengendurnya pengawasan atas pemerintahan yang membahayakan. Hasil terakhir
adalah terbunuhnya raja oleh putranya bernama Narathu yang merebut tahta tahun
1167.
Pemerintahannya
sendiri yang sangat singkat (1167-1170) penuh kekacauan dan pertumpahan darah,
yang memuncak pada terbunuhnya beliau dalam pemberontakan di sitana. Puteranya
Naratheinka, yang menggantikannya, juga gagal mencapai kemenangan dalam melawan
kekacauan yang ada di mana beliau telah terbunuh oleh pemberontak tahun 1173.
Terulang pada adiknya, Nanapatisithu (1173-1210) untuk mengembalikan perdamaian
dalam negeri dan meneruskan pembangunan monumen-monumen yang arsitektual yang
indah.
Masa
kekacauan antara tahun 1167 dan 1173 rupanya merupakan garis pemisah dalam
sejarah Pagan. Dari kurun waktu bahasa Mon menjadi bahasa utama dari
prasasti-prasasti, tiba-tiba kita memasuki kurun waktu bahasa Burma menjadi
sangat penting. Selama sisa kurun waktu Pagan, bahasa Mon menjadi suatu
ekspresi sastra sama sekali lenyap sudah. Apakah pertarungan selama 6 tahun dari
tahun 1167 dan 1173 itu dapat dijelaskan dalam arti munculnya nasionalisme
Buma, suatu reaksi atas pengaruh Mon? Apapun penjelasannya, suatu revolusi
kebudayaan telah terjadi yang membuat Burma menggantikan Mon sebagai sesuatu
yang berpengaruh besar selama abad terakhir sejarah Pagan. Dan karena bukti
positif kurang maka tidak diperlukann perluasan angan-angan untuk mengertinya
barang kali, sebab utama pemberontakan Mon pada umumnya yang pecah ketika
Tatokpyemin “lari dari pengaruh orang-orang Cina” setelah Burma kalah di
Kaungsin tahun 1283.
Pemerintahan
Narapatisithu, yang terpanjang dalam kurun waktu Pagan, banyak menarik
perhatian. Dua dari candi yang terindah, Gawdawpalin dan Sulamani, didirikan di
Pagan, dan sejumlah besar pagoda-pagoda dimana-mana. Banyak pekerjaan irigasi
juga dikerjakan dikedua distrik Kyaukse dan Swebo. Tetapi pembangunan yang
terpenting adalah pemasukan Buddha Sinhala dan mulai gerakan keagamaan yang
akhirnya menjadi pengganti bentuk Conjeweram yang di bawa sari Thaton dalam pemerintahan
Anawrahta.
Cerita
seperti diberikan dalam Hmanan Yazawin (Babad istana kaca), menyebutkan
bagaimana selama kekacauan dalam pemerintahan Narathu pengganti Shin Arahan,
pendeta besar Phantagu, kembali ke Ceylon setelah Narapatisithu naik tahta ia kembali,
tetapi segera meninggal. Penggantinya, Uttarajiwa, seorang Bhiksu Mon,
mengikuti contohnya tahun 1180 dengan pergi ke sana, dan waktu kembali
menerima gelar “peziarah pertama
Ceylon”. Salah seorang Bhiksunya, Chapata, juga orang Mon, kemudian tinggal di
ceylon selama 10 tahun. Waktu kembali tahun 1190 ia menjadi “peziarah ke dua
Ceylon”. Bersama dia diajak 4 Bhiksu asing, salah satu diantaranya bernama,
Tamalinda, menurut Coedes tentu putera Jayawarman VII dari Angkor.
Putera
dan pengganti dari Narapatisithu, Nantaungmya (1210-1234) lebih dikenal dengan
samaran “Htilominlo”, doa dinobatkan sebagai raja dengan payung”, suatu
kepercayaan bahwa payung kerajaan secara ajaib menandakan beliau sebagai
pewaris tahta yang berhak, seorang yang terakhir sebagai pendiri candi-candi
besar. Beliau menghabiskan waktunya sepenuhnya untuk karya-karya suci hingga
pemerintahan kerajaan di serahkan kepada empat saudara beliau, yang memerintah
bersama-sama. Pada zaman beliaulah berkembang hidup kebiarawanan dan banyak buku-buku
dan penjelasan-penjelasan dalam bahasa Pali dihasilakan. Selama pemerintahan
beliau dibangun dua candi terakhir
dengan gaya keagungan , mahabodi sebuah tiruan candi Buddhagaya yang terkenal
itu dan htilominto, sebuah candi yang diberi nama sesuai dengan nama samaran
beliau.
Selama
pemerintahannya penaklukkan Mongol pada Cina telah sempurna oleh Kubilai Khan.
Ketika si penakluk bermukim di Peking, beliau mengirim utusan-utusan untuk
minta tanda bukti tunduk dari negara-negara yang tercatat dalam arsip
kekaisaran sebagai pembayar upeti pada Kerajaan Tengah. Dalam tahun 1271
wakilnya di Yunan diperintahkan mengirim pasuka ke Pagan untuk meminta
pembayaran upeti. Narathipahate dengan congkak menerima mereka. Dua tahun
kemudian pemerintahan itu diulangi lagi oleh pasukan kekaisaran, yang membawa
surat dari Kubilai Khan sendiri. Raja yang pemberani ini kali ini menangkap
utusan dan anak buahnya dan cepat membunuhnya.
Kubilai
yang sangat kejam dalam peperangan, harus menunda tindakannya dan Narathihapate
melanjutkan tindakan tantangan dengan menyerang negeri kecil Kaungai di sungai
Taping karena kepala negaranya telah tunduk pada Cina. Karena itulah Kubilai
Khan menyuruh penguasa-penguasa setempat menghukum Burma dan Gubernur Tali
mengirimkan pasukan Tartar yang mengalahkannya di medan pertempuran
Ngasaunggyam dan mendesaknya kembali kenegerinya sendiri ( 1277). Pertempuran
itu menjadi terkenal karena Marco Polo musafir dari Venisia itu menulis dalam
catatannya cerita itu menurut orang-orang yang menyaksikannya.
Pada
waktu yang sama putra mahkota Je-su Timur, cucu Kubilai Khan, menyerbu ke
lembah Irrawaddhy untuk menduduki Pagan, kemudian dari sana mengirim pasukan
untuk memaksa daerah-daerah propinsi menyerah. Pendudukan Tartar atas kerajaan
itu bukanlah yang pertama kali dihadapi. Serangan itu ternilai mahal dan
rencana semua mengorganisir bagian utara dan tengah Burma menjadi dua propinsi
kekaisaran Tartar dan memperkenankan seorang keluarga raja kembali ke Pagan
memerintah Burma Tengah. Karena itu ketika selesainya pembunuhan atas
bangsawan-bangsawan istana, di selatan, satu-satunya yang masih hidup Kyawswa
yang kembali ke Pagan, dan beliau disetujuai mendapat pengakuan resmi. Jadi
untuk beberapa tahun Pagan adalah ibu kota propinsi. Tetapi adanya Pagan tetap
berdiri, diancam oleh tiga orang pemimpin Shan yang menguasai daerah Kyaukse
yang vital itu, sebagai gudang beras mereka. Tahun 1299 mereka berhasil
membunuh Kyawswa dan membakar ibu kotanya.
Dari
Penaklukan Mongol Atas Pagan (1287) Sampai Pada Shan Merampas Ava (1527)
Serangan-serangan Mongol pada Burma
memberikan kesempatan bagi Shan memainkan peranan penting di Burma. Mereka
telah mulai mengorganisir Burma bagian utara dan bagian tengah menjadi dua
propinsi. Tahun 1283 ketika mereka menguasai Tagaung, mereka telah menjadikan
propinsi baru yaitu Chieng-mien. Tahun 1287 ketika Pagan jatuh, orang-orang
Shan mulai mengorganisir Burma Tengah menjadi satu propinsi yang diberi nama Mien-chung.
Ceritera orang-orang Shan masuk ke
dataran tinggi Burma tidak jelas. Sebelum tahun 1260 jelas ada koloni Shan di Myingsaing di
propinsi Kyaukse. Kebiasaan raja-raja Burma memperuntukkan bagian daerah dalam
area ini bagi resimen-resimen serdadunya dan ada alasan untuk berpikir bahwa
koloni itu mungkin dibentuk oleh suatu pasukan bayaran yang dikerjakan oleh
Pagan. Babad-babad menceriterakan bagaimana tahun 1260 itu seorang kepala suku
Shan dari bukit-bukit mencari perlindungan di Mying Saing dan mengirim tiga
anaknya untuk dididik di istana Narathihapate. Ketika terjadi serangan-serangan
Mongol, “Shan tiga bersaudara itu” menguasai tiga kota madya. Semuanya di
daerah Kyaukse. Athinkaya, yang tertua menjadi kepala di Myingsaing,
Yasathinkaya, yang nomordua, mejadi ketua di Mekakaya, dan Thihathu, yang
termudamenjadi ketua di Pinle. Kyawswaketika kembali ke Pagan sebagai bawahan
dari Mongol, memperkuat pisisi mereka di tiga kota madya itu.dalam
sumber-sumberlain dikatakan mereka pertamakali muncul dalam bulan Februari tahun
1289, ketika mereka meresmikan sebuah pagoda di daerah mereka.
Dua tahun kemudian propinsi
Mien-chung lenyap dikarenakan tugas mempertahankannya terlalu berat dan mahal.
Orang-orang Shan sekarang menjadi faktor penting dalam situasi Pagan.
Kekuasaannya atas daerah-daerah irigasi yang vital memberikan kekuasaannya atas
sumber pengiriman bahan makanan kota itu. Kyawswa, setelah menyadari dirinya
dalam pasisi yang tidak memungkinkan, minta bantuan luar untuk melawan Shan
tiga bersaudara itu. Beliau hanya berhasil membawa kehancurannya sendiri dan
kehancuran ibu kotanya. Pada tahun 1299
orang-orang Shan menangkap dan membunuhnya, kemudaian mereka merampas dan
membakar Pagan, dan secara insidentil membantai semua orang Cina di sana.
Mundurnya
Mongol merupakan
kemenangan Shan. Tapi Myingsaing terlalu jauh dari Irrawaddhy untuk dijadaikan
ibukota kerajaan dataran tinggi murma. Ava tempat yang jelas, dengan beberapa
alasan dinyatakan tidak menyenangkan oleh orang-orang Brahmana. Akhirnya tahun
1312 Thihathura satu-satunya yang masih hidup dari Shan bersaudara itu
menetapkan ibu kotanya dekat Pinya. Prasasti-prasasti berikutnya menyatakan
ketakutan orang-orang Mongol kepada Thihathura dengan memberinya gelar “Tarok
Khan Myingyi” yang berarti raja yang mengalahkan Cina. Tahun 1315 setelah ada
pertikaian keluarga salah seorang anaknya menyeberang sungai dan membangun kota
madya lain si sungai Sagaing.
Dengan
Mongol meninggalkan dataran tinggi Burma dan melemahnya kekuasaan di Yunnan,
membuka jalan bagi bertumbuhnya secara besar-besarab kegiatan Shan jauh di
Burma utara dan bagi pendirian kerajaan baru dengan ibukota di Che-lan dan
dengan kemauan meluaskan kekuasaannya ke arah selatan. Di Burma sendiri terjadi
kekacauan dan ketidak amanan. Raja Shan di Pinya dan Sagaing bertengkar terus
menerus dan seorang di antaranya Narathu dari Pinya tahun 1364 minta bantuan
orang-orang Maw-Shan untuk menyerang Sagain. Para penduduk lari ketakutan dan
lari ke hutan. Orang Maw kembali dan merampas Pinya. Atas dasar itu seorang
anak tiri pemimpin Sagain Thadominbya, mendirikan ibu kota baru di Ava dan
mulai mendirikan negeri untuk bertunduk dan taat.
Ava
didirikan tahun 1364 sampai 1365. Sebagai ibu kota daratan Burma dan setelah
1364 menjadi ibu kota seluruh Burma. Yang terpenting tentang Ava adalah mereka
benar-benar orang Burma, bukan orang Shan. Ibu kota kerajaan itu mengikuti pola
Pagan. Pendirinya mencari dukungan sentimen nasional orang-orang Burma dengan
menelusuri keturunannya dari raja-raja legendaris Tagaung. Dari
prasasti-prasasti dalam bahasa Burma, usaha Thadominbya menegakkan peraturannya
diarahkan kepada distrik-distrik Burma ke selatan yang tidak dipengaruhi oleh
infiltrasi Shan. Thadominbya mangkat karena cacar ketika menyerang Sagu.
Penggantinya Myingyi Swasawke (1368-1401), dengan kuat sekali meletakkan
tekanan pada keturunannya dari dinasti Pagan.
Masuknya
orang Shan ke Daratan Burma membuat terbentuknya suatu pusat Burma baru di
sungai Sittang, di mana tahun 1280 sebuah desa telah dibentengi di atas sebuah
bukit(taungngu) sebagai pos luarmelawan serangan-serangan mencari budak dari
negeri-negeri Karen yang berdekatan. Jatuhnya Pagan menyebabkan banyak keluarga
Burma melarikan diri dari pemerintahan, pergi dengan naik gerobak yang
merupakan tempat tinggalnya. Perkembangannya mula-mula tidak terhambat, pada
pertengahan abad XIV menjadi cukup kuat karena pemimpinnya, Thinhkaba
(1347-1358) menyatakan kemerdekaanya dengan menerima gelar kerajaan dan
membangun istana dengan gaya tradisional. Selama pemerintahan puteranya,
Pyanchi (1258-1377) membawa ombak besar bagi imigran Burma ke Toungoo. Pyanchy
membuat prasasti di Pagan, dan mencatatkan
dan menyatakan bahwa ia dengan permaisurinya telah menerima
pengungsi-pengungsi dari keganasan Shan. Negara baru itu keadaanya selalu
terganggu, di antaranya adalah Ava dan Pagu mencoba untuk menghapuskan
kemerdekaannya.
Myingyi
Swasawke sangat ingin mengidupkan kembali politik tradisional Burma,
menakhlukan orang Mon di selatan. Tapi di awal pemerintahanya ancaman orang-orang
Shan di perbatasan-perbatasan utar dan timur sangat serius baginya untuk
memulai petualangan-petualangan di Burma pesisir. Pyanchi di Toungoo bersahabat dengan orang-orang Mon. Karena
itu ia dipaksa melaksanakan politik damai, dan tahun 1371 ia mengadakan
perundingan dengan raja Binya U dari Pagu, dimana perbatasan antara Burma dan
Mon telah dipastakan.
Bantuan
yang didapat dari Cina pada tahun 1383 membuat Mingyi Swaswake mampu
mengalihkan perhatian, sehingga rencana mencapai kekuasaan atas aliran Irrawadhy
sampai ke laut. Tahun 1377 ia mendalangi pembunuhan Pyanchi yang pro Mon itu di
toungoo. Oleh karena itu tahun 1385, ketika Razadarit menggantikan Binnya U
naik tahta di Pegu dan seorang pamannya yang khianat dengan menulis surat
menawarka penguasaan atas Pegu sebagai kerajaan bawahan sebagai imbalan atas bantuannya dalam
pemberontakan melawan sepupunya. Mingyi Swasawke melihat kesempatan emas untuk
memusnahkan kemerdekaan Mon.
Pengganti
Mingyi Swasawke, Minhkaung, memerintah dengan penuh semangat dari tahun 1401
sampai 1422, berusaha keras menggiring peperangan itu kearah tercapainya hasil
yang gemilang, dan hampir berhasil. Tapi Razadarit seorang lawwan tangguh
melemahkan pukulan kekuatan Burma dengan bantuan orang-orang Arakan dan
menimbulkan ketidak serasian antara Ava dengan negeri-negeri Shan di utara.
Tahun 1374 Mingyi Swasawke telah menobatkan seorang pamannya di Arakan. Tahun
1381 dia mengirim puteranya untuk memerintah di sana, tapi raja kecil ini
diusir. Tahun 1404 sebagai hukuman atas serangan dari Arakan dari distrik
Pakkokku, dia mengirimkan pasukan yang berhasil menduduki ibu kota, sementara itu raja melarikan diri ke Bengal
dan pureranya menyelamatka diri ke negeri Mon. Kali ini dia menempatkan anak
tirinya di singgasana. Tapi putera raja
Arakan kembali dengan bantuan Mon dan membunuh raja boneka Burma itu. Burma
menjawab dengan mengirimkan ekspedisi lain, dengan demikian terjadi perjuangan
yang silih berganti antara kedua belah pihak yang berlangsung sampai tahun
1430, ketika raja yang bersembunyi itu, Narameikhla, kembali dengan bantuan
Bangal mendapatkan kembali mahkotanya.
Hsinbyaskin
Thihatu menggantikan ayahnya sebagai raja di Ava tahun 1422 dan sebagai suami
dari seorang puteri Shan Maw beliau menyerang Shan tapi melalui tipu istrinya
dikeroyok oleh Sawbwanya On-baung (Hsipaw) tahun 1426 dan terbunuh. Kemudian
Sawbwa itu menobatkan pilihannya sendiri, Kalekyetaungnyo. Tapi beliau diusir
bersama orang-orang Shan On-baung, oleh seoran pemimpin Burma, Mohnginthado,
yang merampas mahkota untuk dirinya sendiri. Mohnginthado memerintah dari tahun
1527 sampai 440. Negeri dalam keadaan kacau. Pemimpin-pemimpin feodal tidak
terikat, dan dibantu menentang raja oleh Sawbwa On-baung dan Yawnghwe. Ada
saatnya beliau kehilangan kekuasaan atas wilayah yaukse yang vital itu.
Serangan On-baung memaksanya meninggalkan Ava sementara waktu. Beliau
benar-benar disibukkan oleh usaha-usaha menghindarkan dari kehancuran total.
Tahun 1430 menjadi raja dalam persembunyian di Arakanyang kembali pulang dan memdirikan
ibu kota baru di Mohaung beliau tidak mempunyai kekuasaan untuk mencampurinya
Di
bawah putera Mohnyinthado, Minrekyawswa (1440-1443) dan Narapati (1443-1469)
keluarga raja Ava muncul kembali secara besar-besaran . faktor utama di sini
adalah serangan Cina pada orang-orang Shan Maw. Dengan lenyapnya dinasti Kublai
Khan dalam tahun 1368 cina tidak berkuasa lagi atas jalan lintas Asia ke Barat.
Dalam usahanya mencari tempat terbuka baru untuk perdagangan , Ming dengan
melihat Irrawaddhy, diputuskan untuk menundukkan Shan Maw. Akibatnya suatu
penyerangan panjang berlangsung dari
tahun 1438 sampai 1465. Alasan lain bagi pergerakan Cina menurut kenyataan
bahwa pimpinan-pimpinan Shan Maw, Thongabwa (Ssu-jin-fa) yang berusaha
menghidupkan kembali kekaisaran tua Nanchao. Tahun 1441 Wang Chi, presiden
dewan perangdiangkat untuk memimin pasukan yang kuat yang berhasil mendesak
Shan keluar dari Luch’uan. Beberapa diantara mereka lari ke Hsen-wi, tapi
sebagian besar di bawah Thongabwa menyeberangi Irrawaddhy dan berlindung di
Mohnyin. Ceritera serangan-serangan Wang Chi terdapat dalam Ming-shih, yang
menyatakan kekaisaran akan memberikan daerah “Ssu-jin-fa” bagi siapa saja yang
dapat menawannya. Sebuah prasasti di pagoda Tupayon, dibuat oleh Narapati di
Sagaing, yang menceriterakan bagaimana Thonganbwa lari sebelum Wang Chi ke
Mohnyin dan Kale, ditangkap oleh orang-orang Burma dan dipersembahkan kepada
raja mereka pada hari pelantikannya.
Sementara
Shan merasakan pengaruh Cina, raja Ava berusaha untuk mempertahankan beberapa
kekuasaan yang serupa. Thihathura adalah raja terakhir dari raja-raja Ava yang
dalam pemerintahannya memberontak dan sebagai negara yang tidak normal. Selama
masa istirahat yang relatif tenang untuk sementara raja-raja Avamengadakan
hubungan dengan pusat terkenal Budha Therawada di Kandhy, Ceylon.
Tahun
1527 serangan-serangan Mohnyin yang kronis memuncak dalam penangkapan dan
perampasan Ava, kematian Shwenankyawshin, dan penggatinya oleh putera Sawbwa
Thohanbwa seorang yang “sangat haus darah”, kata Harvey, yang merampok
pagoda-pagoda, mambantai bhiksu-bhiksu dan membakar isi yang berharga
perpustakaan biara. Rakja-raja Ava yang masih ada, dari tahun 1527 sampai
peleburannnya tahun 1555 ke dalam kerajaan persatuan Burma yang dipimpin dan diciptakan
oleh Bayinnaung, semuanya dari pemimpin-pemimpin Shan.
Kekuatan
yang menyatukan kembali Burma pertengahan abad XVI dan akhirnya penyerahan
daerah Ava dari perusuh-perusuh Shan, di bina secara tidak banyak menarik
perhatian di Toungoo, di lembah Sittang, jauh dari pusat-pusat kekacauan utama.
Selama peperangan yang lama antar Ava dan Mon, negeri-negeri kecil bebas
mempertahankan kehadirannya, dengan masing-masing pihak yang sewaktu-waktu
ingin malenyapkannya. Tidak ada keluarga raja yang berkuasa lama. Tatapi titik
balik terjadi di bawah Rja Mingkyinyo (1486-1531) ketika kekacauan di Ava
memungkinkan raja yang mampu menggunakan kesempatan yang baik untuk meluaskan
kekuasaannya. Hasilnya yang terpenting adalah penguasaan atas wilayah Kyaukse.
Tahun 1527 ketika Sawbwa Mohnyin merampas Ava, begitu banyak pemimpin-pemimpin
Burma, melarikan diri, mengabdi kepada beliau hingga beliau menjadi raja yang
terkuat di Burma.
Dengan
tambahan ini pada kekuatannya beliau memusatkan perhatiannya ke selatan dan
mulai membuat persiapan-persiapan untuk suatu serangan atas kerajaan Mon yang
kaya dan maju di Pegu. Banyak Sawbwa Shan ke arah utara wilayahnya begitu
tercekam dalam pertengkaran diantara mereka sendiri, sehingga beliau sendiri
mempertaruhkan ketidakmampuan yang dibawa sejak lahir mereka untuk
menggabungkan tindakan dan menentukan usaha coba-coba untuk mendapatkan
kekayaan Pegu yang seperti dalam dongeng itu sebagai basis
penaklukkan-penaklukkan selanjutnya. Tetapi tahun 1531, sementara tengah dalam
persiapannya, beliau mangkat, dan diteruskan puteranya yang brilian.
Tabinshwehti, melaksankan proyeknya yang masih dalam angan-angan itu. Setelah
Wareru meninggal tahun 1296 kerajaan Mon mengalami masa kekacauan-kekacaun
intern dan perselisihan-perselisihan yang beruntun yang berlangsung beberapa
tahun, dan mungkin mengakibatkan kehancuran seandainya orang-orang Shan atau
Siam campur tangan. Tetapi ketika mereka campur tangan pada serangan terakhir
seorang raja yang kuat Binnya U (1353-1385) telah naik tahta; dan meskipun
dipaksa menyerahkan suatu daerah beliau berusaha mempertahankan kerajaannya.
Serangan datang dari kedua Chiengmai dan Ayut’ia. Pasukan Chiengmai membakar
Taikkola, Sittang dan Donwun, tetapi didesak keluar tahun 1356. Tahun 1363
pasukan Siam memaksa Binnyu U meninggalkan Martaban dan menekankan
serangan-serangan atas propinsi Moulmein dan Tanasserim. Binnyu U sementara
memindahkan ibu kotanya ke Donwun, dan akhirnya tahun 1369 menetap di Pegu,
yang tetap menjadi ibu kota kerajaan Mon sampai Tabinshwehti menghapuskan
kemerdekaannya tahun 1539. Tahun 1362 beliau memperbaiki Pagoda Shwe Dagon dan
menaikkan tingginya 66 kaki. Tempat yang paling terkenal bagi peziarah berdiri
persis di luar desa nelayan kecil Dagon, menurut nama Pagoda itu, dan
berabad-abad kemudian dinamakan kembali denga Rangoon oleh Alaungpaya (1755).
Pemerintahan
Minnya U suatu pemerintahan yang penuh keributan, penuh dengan perang dan
bahaya kelaparan. Orang-orang Siam yang menguasai Martaban dan Taasserim
terus-menerus mengancamnya. Putera tertuanya Razadarit (1385-1423) harus
berhadapan tidak saja denga serangan dari Chiangmai, kmapengp’et dan Ayut’ia,
tetapi juga seperti telah kita ketahui, dengan serangan-serangan beruntun lama
dari Ava. Dalam menghadapi mereka semua beliau mempertahankan kerajaannya
dengan sukses. Hanya pendudukan Ayut’ia dengan usaha-usahanya menaklukkan
Kamboja, Sukhot’ai dan Chiengmai menyelamatkan negeri Mon daripada menjadi
pokok pertikaian antara Ava dan Siam. Razadarit bukan saja seorang negarawan
yang memainkan peranan dengan penuh keterampilan, tetapi juga sebuah nama dalam
tradisi Burma dan Mon sebagai seorang Administrator. Orang-orang Burma
mengatakan beliau telah memecah “Tiga Negeri Talaing”, Pegu, Myaungmya, dan
Bassein masing-masing menjadi 32 propinsi. Mungkin daerah yang dimaksud yang
oleh penguasa Inggris di sebut “lingkaran”, di bawah Myothugyi atau Taigthugyi.
Dengan
berhentinya perang di Burma sebelum matinya Razadarit kerajaan Mon mengalami
kurun waktu lama dalam kedamaian dan kemakmuran. Ibu kotanya menjadi pusat
perdagangan besar dan tempat tinggal pedagang-pedaganng asing. Tiga buah
pelabuhannya yang sibuk, Martaban, di dapat dari Siam; Syriam di bawah Dagon;
dan Bassein, di Delta, melakukan perdagangan teratur dengan India, Malaka dan
Kepulaun Melayu. Tahun 1435 Nicolo di Conti dari Venesia, orang Eropa pertama
tercatat mengunjungi Burma, tinggal 4 bulan di Pegu, yang kemudian diperintah
oleh Bynnyaran (1426-1446).
Tiba-tiba
terjadi ledakan pada penggantinya, Takayutpi (1526-1539) ketika Tabishwehtijatuh
di daerah delta tahun 1535. Dalam kurun waktu yang sangat singkat pemimpin
kerajaan Burma menurunkan kerajaan Mon menjadi kerajaan taklukkan, merebut Pegu
dengan tipu muslihat, dan mengakhiri garis kekuasaan Wareru.
2.4 Burma
Di Bawah Dinasti Toungoo Yang Telah Dipulihkan
Ketika kerajaan
persatuan Burma terpisah tahun 1599 kondisi kerajaan tua Mon di Pegu
benar-benar telah dalam keadaan celaka. Bukan saja ibu kotanya telah hancur,
tetapi juga seluruh negeri berantakan oleh serdadu-serdadu penyerang dari
Arakan, Toungo, dan Siam. Syriam ada di tangan orang-orang Arakan, dan kesana
datang Philip de Britoy Nicote, seorang Portugis yang bekerja pada Raja Min
Razagyi, bertugas di kantor cukai dan mengawasi orang-orang Portugis yang
tinggal di sana di bawah undang-undang mereka sendiri. Bersamanya dua orang
Missionaris, Pimenta dan Boves, keduanya telah menulis tentang pengalaman
mereka yang terjemahannya diterbitkan oleh Samuel Purchanse dalam Polgrime-nya
Boves menulis: saya juga kesana dengan Philip de Brito, dan dalam 15 hari telah
tiba di Syriam, pelabuhan terbesar di Pegu. Suatu pemandangan yang sangat
menyedihkan terlihat pada tiap-tiap sungai tertentu dengan pohon-pohon berbuah
lebat tak terhingga, sekarang ditutup oleh reruntuhan candi-candi berkilau
keemasan dan bangunan-bangunan megah; jalan-jalan dan ladang-ladang penuh
dengan tengkorak dan tulang-tulang penjahat-penjahat Pegu, yang terbunuh atau
mati kelaparan atau dicampakkan ke sungai, sejumlah itu hingga banyak bangkai
menghalangi jalan-jalan dan pelayaran setiap kapal.”
De Brito menyusun rencana yang
berambisi mendapatkan kekuatan atas Syriam dan meletakkannya di bawah
wewenang Wakil Raja di Goa. Bersama
dengan seorang Opsir Portugis, Salvador Ribeyro, ia membangu sebuah benteng dan
mengusir Gubernur Arakan. Kemudian, dengan membiarkan Ribeyro menguasai tempat
itu, ia pergi ke Goa mencari pengakuan resmi dan bantuan. Ia menerima puteri
Wakil Raja sebagai isterinya dan kembali sebagai kapten jenderal dengan 6 kapal
memuat tentara bantuan dan perbekalan. Selama kepergiannya Salvador Ribeyro
telah mengalahkan serangan berulang-ulang dari orang-orang Arakan dan serangan
dari orang-oang Burma dan telah menanamkan hubungan baik sedemikian rupa dengan
pemimpin-pemimpin Mon sambil menawarkan untuk menerima de Brito sebagai raja.
Yang terakhir waktu tiba menerima tawaran itu atas nama kekuasaannya, dan
kemudian Ribeyro mengundurkan diri dan segera meninggalkan negeri itu.
Kebijaksanaannya mengenai situasi yang sulit itu selama pemimpinnya tidak ada d
tempat memberi kesan bahwa seandainya ia tetap berkuasa kemajuan akan tentu
didapat kesempatan yang jauh lebih baik dari pada di bawah de Brito pemimpin
yang mudah tergerak oleh gerakan hatinya dan yang terlalu ambisius itu. Tetapi
pada mulanya terus berhasil. Sebuah armada sampan yang besar di bawah Wakil Raja telah dihancurkan
dan pengeran itu sendiri yang tertangkap dan akan dibebasan dengan uang
tebusan. Sebuah serangan berikut, Arakan bersekutu dengan Min dari Dinasti
Toungoo telah dikalahkan dan tahun 1604 kedua raja itu membuat perjanjian
dengan de Brito.
Tahun 1628 Anaukpetlun telah rampung
memindahkan istananya dari Ava ke Pegu, dan mulai merencanakan atas Ayut’ia.
Tetapi pada tahun berikutnya, beliau terbunuh dan mahkota direbut oalh salah
seorang saudaranya, Thalun, yang menjalankan pembalikan sepenuhnya dari
politknya. Proyek Siam ditinggalkan dan tahun 1635 ibu kotanya telah
dipindahkan dari Pegu kembali ke Ava. Segera setelah kenaikkannya suatu pemberontakan
besar orang-orang Mon ke Siam. Cita-cita Kerajaan Persatuan Mon dan Burma yang
diharapkan Tabinshwehti dan Bayinnaung tak lama kemudian terwujud. Burma
memperlakukan Mon sebagai peduduk pribumi dan karena Pegu tak berguna sebagai
pelabuhan karena berlumur, pilihan tinggal antara Syriam dan Ava. Dari segi
ekonomi Syriam akan menjadi ibu kota yang lebih baik, dan dengan pindah ke sana
pemerintah akan dapat mempertahankan hubungan dengan dunia luar. Tetapi tak ada
raja setelah Anaukpetlum yang tertarik akan nilai hubungan seberang lautan, dan
Burma Pedalaman adalah negeri Burma yang penting. Jadi dinasti itu mneyerah
pada tradisionalisme dan isolasisme, dan kenaikan sikap tak suka menyesuaikan
diri dan kebencian pada orang asing membuat perdagangan oarng-oarng barat
dengan Burma pada setiap bentuk yang memuaskan dan bahkan hubungan diplomatik,
menjadi tidak mungkin.
Selama pemerintahan Thalun dalam
tahun 1635 Belanda telah mendirikan kator dagang pertama di Burma. Di
Syriamlah, kecuali agen-agennya, Dirck Steur dan Weirt Jansen Popta, harus
mengikuti istana sampai ke Ava, dimana dalam bulan September tahun itu raja
menerima merka dan memperlakukan mereka sebagai “massa yang bercampur aduk
dalam menari, melompat dan berkelahi.”Perdagangannya di Burma diatur dari
Pulicat, mereka datang dengan tujuan untuk menyikut saudagar-saudagar Portugis
dan India yang menjalankan perdagangan laur negeri, negeri itu.
Saudagar-saudagar dan kapal-kapal Mon melaksanakan bagian kecil perdagangan ke
bagian-bagian luar negeri, dan diantara catatan pelayaran pertama Lancaster
atas nama Perusahaan India Timur ada sedikit daftar kata “ bahasa Pegu” yang
nampaknya telah di pungut di Aceh. Tetapi hampir tak ada orang Burma yang
melakukan perdagangan luar negeri, yang seluruhnya berada ditngan orang asing.
Dan tak ad tanda-tanda kegiatan lanjutan orang-orang Mon. Ketika Belanda
menjalankan metode yang telah dicobakan untuk mendapatkan monopoli. Thalun
melindungi saudagar-saudagar India terhadap persaingan yang tidak jujur dan mengirim
surat pada Gubernur Pulicat, memberitahukan padanya agar tidak ikut dalam
masalah-masalah permusuhan melawan Portugis, yang keluhnya sedang di cegah
untuk melakukan perdagangan yang biasa dengan Burma. Belanda begitu kecewa
dengan perdagangan hinggga tahun 1645 mereka secara serius memikirkan untuk
menutup kantor-kantor dagang mereka, dan hanya meneruskannya untuk
menghindarkan Inggris yang akan melangkah maju.
Pindale seorang raja yang lemah,
menghadapi situasi yang tidak ada sebelumnya yang muncul dari perang Cina
ketika orang-orang Manchu mengusir orang-orang Ming. Jung-li orang terakhir
dari dinasti Ming, telah lari ke Yunan tahun 1644 dimana untuk beberapa lama ia
menentang orang-orang Manchu. Kebutuhannya yang banyak akan tenaga manusia dan
perbekalan dari Hsenwi da Maingmaw menyebabakan Pindale mengirim pasukan untuk
membantu mereka, dan dengan beberapa keberhasilan, sejak tahun 1650 agen-agen
Inggris di Bruma telah melaporkan ke Madras bahwa orang-orang Burma telah
mengalahkan “tetangga-tetangga mereka yang menyerang dan negeri itu seperti
akan diduduki dan dalam keadaan damai.” Tahun 1658 Jung-li telah diusir dari
Yunan, dan lari melalui jalan Burma Lama ke Bhamo dengan 700 orang pengikut.
Mereka dilucuti dan diperkenankan di Sagaing. Ini menyebabkan serangan-serangan
ganas oleh gerombolan-gerombolan yang dibantu orang-orang Ming yang berusaha
menyelamatkan pimpinan mereka. Sebuah pasukan Burma telah dikalahkan di Wtwin,
dan untuk selama 3 tahun Burma Pedalaman telah bebas dari gangguan sampai ke
tembok Ava dan jauh ke selatan sampai ke Pegu. Tahun 1661 agen-agen Belanda di
ibu kota itu melaporkan bahwa ada kecelakaan besar sehingga semua perdagangan
berhenti.
Sekarang Burma memasuki kurun waktu
panjang dalam keadaan astagnsi. Pye mangkat tahun 1672 dan puteranya Narawara
yang menggantikannya mangkat dalam setahun. Karena itu sejumlah orang-orang
berpengaruh di istana menduduki istana dan mengangkat putera termuda Pangeran
dari Prome. Oposisi dari keluarga raja ditindas dengan pembunuhan rahasia secara
besar-besaran. Minrekyawdin atau Sri Pawara Maha Dhamma Raja, memerintah selama
26 tahun (1673-1698). Beliau sedikit lebih dari seorang yang mempunyai
kekuasaan nominal, kekuasaan sebenarnya ada di tangan sejumlah kecil
menteri-menteri yang berkelompok. Baik keamanan ke luar maupun ke dalam
dipertahankan, tetapi tak ada pimpinan dan konsekuensinya tak ada seorang
tokoh. Daerah-daerah terpencil lepas sebab waktu dimasukkan dalam kekuasaan
pusat seperti pendudukan lembah Kabaw oleh Raja Manipur yang terjadi di sana
tak ada orang yang mampu mengusir orang-orang yang tak dapat dipercaya.
Percobaan permulaan ini tidak segera
tampak hasilnya, mungkin karena para Direktur di induk negerinya memusatkan
pikiran terhadap setiap proyek untuk menghidupakn kembali kantor dagang Inggris
di sana. Tetapi tahun 1692, Penguasa Burma di Martaban menangkap sebuah perahu
laya kecil milik penduduk Amerika di Madras dan memenjarakan anak buahnya;
karena mangangkut barang-barang yang belum dibayar milik Nathaneil higgison Gubernur
Fort St. George, ia memutuskan untuk mengirim utusan ke Ava merundingkan
pembebasan pedagang yang tertangkap itu dan miliknya. Higgison mengira bahwa
bila ia dapat menjanjikan pembukaan kembali perdagangan resmi antara Perusahaan
dan Burma semuanya dapat dilayarkan secara aman. Tetapi ia tidak punya
kewenangan apalagi untuk mengirim seorang pegawai Perusahaan yang dapat
dipercaya, sedikit banyak membuat setiap tawaran yang akan dapat melibatkan
Perusahaan secara resmi. Agennya, Edward Fleetwood, yang telah pergi ke Ava
tahun 1695, adlah seorang pedagang perseorangan di Madras, yang biasanya
dibayar secara pribadi oleh Higginson. Tetapi ia berusaha keras untuk
meluluskan misinya sebagai misi resmi dan memerintahkan Fleetwood untuk meminta
“tempat perbaikan dan pembangunan kapal secara bebas” di Syriam. Sebagaimna
diharapkan menteri-menteri Burma memberitahukan Fleetwood dengan
terang-terangan bahwa jika Perusahaan dapat membuka kembali kantor dagang di
Syriam semua permintaannya dapat dipenuh; akan tetapi apabila tidak ada gunanya
berunding.
Minrekyawdin mangkat tahun 1698
diikuti oleh tiga orang raja terakhir dinasti itu: Sane (1698-1714), Taninganwe
(1714-1733), dan Mahadammayaza Dipati (1733-1752). Seperti beliau mereka tidak
penting dan jarang, bila pernah, meningglakna ibu kota dan secara
tawanan-tawanan istana mereka itu. Bukan kenyataan di bawah mereka Burma
menjalankan politik perdamaian yang mencerminkan ketidakpercayaan diri pada
pemerintahan mereka, karena didikte oleh orang-orang lemah belaka. Betapa
banyak kekuasaan yang dijadikan oleh istana Ava pada pemimpin-pemimpin feodal
yang memerintah berbagai bagian luar negeri itu, sukar dikatakan. Kekuasaannya
atas Burma pesisir mungkin tak meluas lebih dari jalan raya Irrawaddhy, ibu
kota Pegu dan Pelabuhan Syriam.
Keruntuhan Monarki menyebabkan
perpecahan kerajaan. Mulai yang tahun 1740 ketika sebuah koloni Gwe Shan di
Okpo, dekat Madaya di Burma Pedalaman, menentang pajak yang naik sampai diluar
batas kewajiban yang diminta atas pohon pinang mereka, bangkit memberontak di
bawah seorang pemimpin bernama Gonna-sein. Mereka bersatu dengan komplotan
orang-orang Mon yang dibuang dan mengusir Burma keluar daerah mereka. Bersamaan
sekali Burma Pesisir juga bangkit memberontak. Gubernur Burma di propinsi Pegu
terpengaruh untuk menumbangkan pemerintahan dan berjalan menuju Syriam. Tetapi
pasukannya memberontak dan membunuhnya, dan ketika raja mengirim pasukan unutk
mengembalikan keamanan orang-orang Mon secara massal bangkit dan
mengalahkannya, merebut Syriam dan Martaban dan membantai semua orang Burma
yang dapat ditangkapnya. Mereka kemudian maju mengangkat raja dari kalangan
mereka sendiri, Smim Htaw Buddhaketi. Di Pegu. Beliau adalah putera Gubernur
Pagan, yang gagal merebut Ava tahun 1714 dan melarikan diri ke daerah
pegunungan sebelah timur Pegu. Smim Htaw diminta naik tahta. Ia ternyata
seorang pemimpin yang tidak efektif, tetapi demikian itu adalah kelemahan Ava
hingga pasukannya cepat menduduki Burma Pesisir sampai Prome dan toungoo dan
mulai menyerbu jauh sampai Irrawaddhy sampai mereka mengancam ibu kotanya
sendiri.
Smim Htaw Buddhaketi, terkenal di
kalangan rakyat, yang menghargai kepuutsannya yang baik hati itu; tetapi
menteri-mentreinya menjadi ragu akan ketidakmampuannya sebagai pemimpin. Masalahnya
jadi kritis tahun 1747 ketika Mon menyerang Irrawaddhy terus ke Ava telah
berbalik dengan kekalahan besar. Karena itu raja meninggalkan Pegu dan tinggal
di Sittaung, dimana setelah beberapa musyawarah beliau mengumumkan maksudnya
untuk mengudurkan diri dari jabatannya yang tak menyenangkan itu. Peperangan
itu seluruhnya dilakukan dengan sangat gampang dan Mon keliru berpikir bahwa
dalam mengambil ibu kota mereka harus menaklukkan negeri itu.kerena itu sebagai
ganti memusatkan pikiran pada penghancuran semua pusat perlawanan yang mungkin,
wakil raja, yang diikuti Talaban dalam expedisi itu, kembali ke Pegu dengan
pasukan pokoknya, meninggalkan kepala stafnya untuk memastikan persekutuan
kepala-kepala suku kerajaan Ava dengan pasukan yang tidak mencukupi di bawah
kewengannya. Sebelum berangkat pulang, pangeran telah mendengar berita-berita
keributan bahwa detasmen Mon telah dikirim untuk menerima penyerahan kota
Moksobomyo “kota pimpinan pemburu”, kira-kira 60 ml di utara Ava, telah dipecah
belah oleh penduduk. Tetapi beliau salah perkiraan bahwa keributan telah
terjadi dengan Siam, yang beru-baru ini telah bertukar utusan dengan raja Ava
yang telah diturunkan, beliau cenderung untuk memperlakukan peristiwa itu
sebagai sifat segi tiga dan menajuhkan perpisahannya dengan Talaban untuk
membuat tempat percontohan. Beliau sedikit menyadari bahwa peristiwa Moksobomyo
merupakan awal dari kebangkitan Nasional Burma yang telah membersihkan
orang-orang Mon dari Burma Pedalaman dan menghancurkan kerajaannya sama sekali.
2.5 Awal Mula Dinasti Konbaung Di Burma (1752 – 1782)
Ketika beliau kembali
ke Pegu, Juva Raja meninggalkan Talaban dengan pasukan yang tidak mencukupi
untuk berperang melawan pemberontak secara besar-besaran. Ini persis dengan
perlawanan yang berhasil oleh pimpinan pemberontak Boksobomyo ciptakan dalam
waktu singkat yang mengejutkan itu. Dengan menyebut dirinya Aungrazeya, “Yang
Berjaya”, dan “diilhami oleh Nat yang baik mengendalikan agama”, seperti
dikatakan Mahayazawin, beliau menjadikan dirinya pemimpin gerakan nasional.
Bulan Mei tahun 1752 beliau mengalahkan serangan atas bentengnya yang dipimpin
oleh Talaban yang tertawan. Bulan berikut beliau melanjutkan serangan dan
menyerbu sebuah kubu pertahanan Mon yang dimaksudkan untuk memotong suplainya.
Garnisunnya meninggalkannya dengan kepanikan, sambil meninggalkan semua
perlengkapannya. Sekarang beliau seorang minlaung atau penuntut tahta, bergaya
seperti Alaungpaya, atau “benih Budha”, dan lengkap dengan semua daftar
usul-usul keturunan yang menghubungkan dirinyadengan Mohyintadho, yang telah
memerintah di Ava tahun 1427-1440. Kemana beliau pergi beliau memastikan sumpah
kesetiaannya kepada pemerintah. Moksobomyo, “kota pimpinan pemburu”, menjadi
Shwebo, “kota tangga emas”, dan disana beliau mulai mendirikan sebuah istana
dengan gaya tradisional yang baik.
Tetapi orang Mon tidak mudah di
depak keluar Burma Udik, dan mereka bergabung dengan Gwe Shan dari Madaya-Okpo.
Ini adalah perang kubu pertahanan dan dalam berlangsungnya pasukan yang patriot
itu mengalami banyak kemungkinan kalah. Sebelum sampai bulan Desember 1753
Alaungpaya telah mampu mengurung Ava, tetapi pada saat itu beliau telah
membangun armadaperahu yang luar biasa, terutama dari kapal-kapal yang direbut
dari musuh. Mon, setelah gagl merebut kubu pertahanan pertamanya, putus asa.
Tak ada tanda-tanda bantuan dari Pegu, dan mereka mengkhawatirkan bahwa
orang-orang Burma dan Shan di kota itu akan bekerja sama dengan pasukan yang
mengurung di luar. Jadi mereka meninggalkannya pada waktu malam dengan sangat
rahasia dan menyelamatkan diri menentang arus situasi, sebelum Burma menyadari
apa yang terjadi.
Alaungpaya tidak dalam posisi untuk
mengejar orang Mon mengundurkan diri atau melancarkan serangan ke selatan.
Petama beliau mencari keyakinan tentang kesetiaan Swabwa Shandi utara.
Sementara melaksanakan tugas ini Raja Binnya Dala di Pegu melancarkan serangan
besar-besaran atas daerah Ava. Bila dilaksanakan lebih cepat, sementara Mon
menguasai ibu kota, mungkin mudah membuat p[erimbangan terhadap Alaungpaya.
Tetapi Juva Raja, kepala staf pasukan Mon, adalah seorang pemimpin yang lemah;
dan meskipun beliau mengalahkan pasukan Burma di Talokmoyo dan mengacaukan
negeri sampai sejauh Kyaukmyaung, dekat ke Shwebo, sebuah serangan balasan dilancarkan
Alaungpaya dari Shwebo, dan sekelompok pasukan yang ganas pada bagian pasukan
yang sedang berperang itu, di Ava menyebabkan kekalahan sedemikian rupa hingga
bulan Mei tahun 1754 semua pasukan penyerang muali cepat-cepat munduryang tidak
berhenti sebelum tiba di Prome. Sememtara itu ketidak puasan di Kerajaan Mon
telah memuncak dalam suatu komplotan yang bertujuan mengembalikan Mahadammayaza
Dipati yang tertawan itu, yang ada di Pegu. Ketika ini dilaksanakan, dan raja
yang telah turun tahta itu, tiga dari putranya dan banyak yang lain yang
tersangkut di bunuh, delta Burma bangkit memberontak dan meyerbu kota Pegu,
yang ingin mereka kuasai, meskipun demikian di pertahankan oleh pasukan Mon
yang mundur dari Ava.
Tetapi si penyerang tidak ditekan
dengan keras, dan awal 1755 Alaungpaya, setelah mengumpulkan pasukan besar
untuk menaklukkan kerajaan Pegu, memindahkan orang-orang Burma yang
mempertahankan itu tanpa kesulitan. Tetapi, Mon telah membangun benteng tanah
yang kuat persis di selatan kota dan disana banyak terjadi peperangan hebat
sebelum ini akhirnya ditindas. Keberhasilan ini mampu membuatnya untuk menuntut
kesetiaan Burma Tengah, dan beliau tinggal beberapa minggu di Prome melakukan
tugas mendamaikan. Kemudian beliau pergi kearah selatan menjumpai Mon di Lunhse
di distrik Henzada. Kemenangan yang menentukan yang beliau capai mengilhaminya
untuk menamakan lagi tempat itu Myanaung, “kemenangan cepat”. Disini pada
tengah-tengah perjalanan dan dengan senag beliau menerima penyerahan Toungoo,
Henzada,Myanungmya, Bassein dan bahkan distrik Arakan, Sandoway. Akhirnya
dengan terus terdorong melalui Danubya beliau mengusir Mon dari Dagon pada awal
bulan Meidan merayakan penutupan perangnya dengan perayaan di Pagoda Shwe
Dagon. Beliau merencanakan membuat tempat pelabuhan dutama kerajaannya dan
mulai mengerjakan pendirian ibu kota baru, yang secara optimis beliau namakan Rangoon, “
Akhir Pertikaian”.