Telusuri artikel, makalah dan kisah sejarah

Sunday, 21 April 2019

Propaganda Media Massa Dalam Tragedi G30S/PKI

Kalau benar bahwa hasil otopsi para jenazah tidak menunjukkan bekas pemotongan penis, barangkali ada semacam propaganda media massa untuk mempengaruhi persepsi publik. Dengan demikian muncul sebuah 'thesis' tentang peran media massa terhadap keberhasilan Soeharto dalam menyapu bersih G30S/PKI.


Penculikan dan terus Pembunuhan para Jenderal di Lubang buaya bukan tanpa sebab.Dikarenakan pada masa itu setelah pemilu tahun 55 PKI ingin membentuk angakatan ke 5 yaitu buruh tani yg dipersenjatai, tentu saja hal tersebut di tolak oleh Panglima ABRI. Nah oleh karena itu mereka merasa di halang-halangi oleh AD. Makanya mereka menyingkirkan terlebih dulu yang menghalangi mereka, setelah itu maksud mereka dengan anggapan gampang Soekarno di pengaruhi karena waktu Soekarno dalam kondisi sakit.

Target pertama propaganda media massa adalah RRI yang waktu itu menjadi sarana komunikasi monologal yang primer. Sepanjang hari Jumat, 1 Oktober 1965, RRI beberapa kali menyiarkan pengumuman dari Untung cs yang masing-masing cuma berselang beberapa jam. Pukul 07.00 ada siaran tentang tindakan yang diambil terhadap Dewan Jenderal. Kemudian pukul 09.00 ada siaran lagi tentang pembentukan Dewan Revolusi. Pukul 13.00 muncul berita dari Brigjen Sabur bahwa Presiden Soekarno dalam keadaan selamat. Tiga empat jam kemudian, muncul lagi berita tentang keputusan kenaikan pangkat militer yang turut serta dalam G30S. Dan setelah magrib, ketika RRI sudah dikuasai RPKAD, gantian Soeharto yang 'mengudara' untuk menenangkan masyarakat sembari mengabarkan bahwa dirinya mengambil alih komando AD.


Pemberitaan sepotong-sepotong mirip 'breaking news' itu sebetulnya cukup 'questionable'. Mengapa Untung dan Dewan Revolusinya tidak mengumumkan terlaksananya G30S, Pengumuman Dewan Jenderal, pemberitaan bahwa Presiden Soekarno dalam keadaan aman, tidak dalam satu paket berita? Bisa saja, pemberitaan yang sepotong-sepotong itu memang untuk membuat masyarakat bingung, dan terpaku di depan radio masing-masing untuk mendengarkan perkembangan situasi berikutnya. Dengan demikian, kelompok 'putsch' dapat melancarkan skenario yang telah dipersiapkan.

Hari-hari berikutnya, tampak jelas media massa cetak di tanah air berada dalam genggaman Soeharto. Berita-berita penganiayaan para Jenderal di Lubang Buaya, tentu saja merupakan konsumsi pers yang paling disukai. 'Hot News' semacam itu, apalagi dikemas seiring dengan opini publik yang dibentuk mirip dengan bola salju, pasti akan membuat koran manapun menjadi 'best-seller'.

Kalau benar institusi pers telah menjadi alat propaganda, apa keuntungan yang diharapkan Mayjen Soeharto dan kawab-kawan? Tentu, pers dimaksudkan sebagai pembentuk opini publik. Kalau sudah tercipta, berarti tinggal mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Ketika Presiden Soekarno terjebak dalam ambiguitas atau sikap yang mendua, Mayjen Soeharto tidak segan-segan mengambil inisiatif sendiri misalnya, tampak pada sikap penolakannya terhadap pengangkatan Presiden Soekarno atas Mayjen Pranoto sebagai pimpinan AD.

0 komentar:

Post a Comment