Telusuri artikel, makalah dan kisah sejarah

Sunday, 21 April 2019

Kudeta Kekuasaan Terhadap Soekarno

KUDETA MERANGKAK - Sesudah surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), perlahan tapi pasti, upaya yang sangat sistematis itu mulai dijalankan. Pers barat menyebutnya "Creeping coup d'etat"-Kudeta Merangkak. Dengan Supersemar itu Suharto langsung membubarkan PKI. Kelompok pro-Suharto, yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya rezim Orde Baru, secara cepat melakukan pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya. Bagaimanapun Bung Karno dalam hal ini lebih bertindak arif sebagai Bapak, sebagaimana seorang wartawan melukiskan rasa terhinanya Presiden, ketika ia didesak meninggalkan Istana untuk memudahkan penangkapan terhadap Subandrio. Ketika itu Bung Karno dengan nada rendah memohon kepada Amir Machmud, selaku Kodam Jaya: "Amir, jangan bunuh dia". (J.D. Legge, Op.Cit, h. 403)

Frans Seda juga mengungkapkan betapa ia bingung dengan "Diam seribu bahasa"-nya Bung Karno. Ketika Frans Seda sudah terseret dalam arus konflik politik yang kian memanas, hingga tidak jelas mana lawan mana kawan, tetapi ketidaksabaran Frans Seda hanya dihadapi Bung Karno dengan senyum: "Bukankah dalam.Biblemu tertulis, Apabila engkau ditampar pipi kiri, tadahlah pipi kananmu?" (Frans Seda, "Mikul Dhuwur mendem Jero", dalam Bung Karno dalam kenangan, h. 76)


Bung Karno sendiri, rupanya sejak awal menyadari, bahwa kalau pun benar PKI terlibat dalam tragedi Nasional itu, tetapi PKI bukan sendirian. Dalam sebuah pidatonya, Bung Karno menunjuk 3 penyebab "keblinger"-nya pimpinan PKI, kelicikan kekuatan-kekuatan NEKOLIM dan "kenyataan adanya orang-orang aneh". Karena itu, Bung Karno sengaja memilih kata "Gestok"-Gerakan 1 Oktober, disamping karena kejadian itu sudah pagi, juga untuk menekankan bahwa "penyerang yang sebenarnya adalah mereka yang melakukan gerakan kontra revolusi setelah PKI". (J.D. Legge, Op. Cit, p. 405)

Demikian penjelasan Bung Karno lebih lanjut, sebagaimana ditulis Frans Seda: Apa yang dilakukan PKI dengan Gestoknya adalah suatu tindakan terkutuk dan pembunuhan para Jenderal tidak bisa dibenarkan dan harus diambil tindakan-tindakan hukum seperlunya. Tapi reaksi-reaksi emosional yang timbul di kalangan Angkatan Darat dan sementara partai politik dan para mahasiswa, justru sangat memberi peluang kepada Nekolim untuk menghancurkan Revolusi kita. Dan bahaya Nekolim itu riil. Ingat adanya "Limited Attack" dan "Local Army Friends" seperti yang tertulis dalam Gillchrist dan In hogere Kringen di Washington ada suara-suara "it will not be long Sukarno". (Frans Seda, Op. Cit, h. 76-77)

Tetapi pada saat politik kotor dan adu domba itu sudah mencapai batas kesabarannya, Bung Karno berkata dalam amanat yang disampaikan dalam rangka Isra' Mi'raj, Bung Karno mulai mengungkap makna sikapnya yang "diam seribu bahasa". "Diamku bagaimana?", tanya Bung Karno. Bung Karno menjelaskan, seperti diam dan sabarnya Nabi Muhammad, bahkan ketika di Ta'if sampai dilempari kotoran. "Tetapi sesudah Isra' Mi'raj, dia bertindak, bertindak, sebab sudah haqqul yaqin. Ini adalah perintah, ini adalah tugas yang disuruh ia mengemban. Dia bertindak, bertindak, sampai kepada peperangan, sampai kepada hal-hal yang lain-lain". Bung Karno berusaha sekuat tenaga, tetapi kekuatan yang menghadang di depannya terlampau besar dilawannya.


Maka Bung Karno mengalami saat-saat seperti Kristus, ketika bergumul dengan air mata darah di Taman Getsemani. "tidak ada yang mustahil bagiMu, Ya Abba, ya Bapa, ambillah cawan ini daripadaku". Dalam ketidakpastian itu, ia masih mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk perjuangan menegakkan kebenaran. Ia menyusun kabinet yang terkenal dengan sebutan "Kabinet 100 menteri". Menurut Garnis Harsono, tindakan itu agaknya diilhami oleh Kitab Nabi Daniel, yang mengisahkan bahwa Darius Agung mengangkat 120 menteri dan 3 perdana menteri. (Garnis Harsono, Op. Cit, h. 204)

Tetapi kekuatan lawannya terlalu besar. Kekuatan imperialis internasional dengan AS yang ternyata "tidak bersih tangan terhadap kejatuhan Bung Karno". Menarik untuk dicatat, dalam masa-masa paling sulit Bung Karno selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Ketika tiga Jenderal duta SUPERSEMAR, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M Jusuf dan Brigjen Amir Machmud, tiba-tiba "menodong" Bung Karno untuk menandatangani Surat Perintah yang dirancang Suharto itu, Bung Karno bergumul dengan dirinya sendiri. Bung Karno meminta saran kepada tiga Waperdam (Wakil Perdana Menteri) yang ketika itu hadir, yaitu Subandrio, Chaerul Saleh dan Leimena.

"Waktu Bapak ragu-ragu Pak Chaerul Saleh mengingatkan untuk memohon petunjuk Allah", kisah Ibu Hartini. Lalu Bung Karno masuk ke kamar. Seperti biasa, dalam saat-saat kritis Bung Karno melakukan semedi setelah sholat. "Ketika keluar dari kamar Bung Karno akhirnya menandatangani Surat Perintah dengan lebih dahulu mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim", lanjut Ibu Hartini. (Wawancara dengan Ibu Hartini di Jakarta, 7 Juli 2000)

Hari-hari selanjutnya seolah olah semua mengalir begitu cepat, hingga pada akhirnya Bung Karno ikhlas ketika bulan Maret 1967 diterima berita bahwa MPRS telah memutuskan Suharto, Jenderal TNI yang waktu itu menjadi Pangkopkamtib, menjadi Presiden RI, menggantikan Bung Karno. Berita itu diterimanya di Istana Bogor di dampingi istrinya, Ibu Hartini. "Kelihatan benar betapa terpukul hatinya saat itu", tulis Bambang Widjanarko, mantan ajudan Presiden yang 8 tahun setia mendampinginya. "Lama ia duduk tanpa kata sepatahpun". Akhirnya, sambil menarik nafas panjang Bung Karno berkata: "Aku telah memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan bangsa Indonesia".

0 komentar:

Post a Comment