KUDETA MERANGKAK - Sesudah surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), perlahan tapi pasti,
upaya yang sangat sistematis itu mulai dijalankan. Pers barat menyebutnya
"Creeping coup d'etat"-Kudeta Merangkak. Dengan Supersemar itu
Suharto langsung membubarkan PKI. Kelompok pro-Suharto, yang akhirnya menjadi
cikal bakal lahirnya rezim Orde Baru, secara cepat melakukan pembersihan
terhadap lawan-lawan politiknya. Bagaimanapun Bung Karno dalam hal ini lebih
bertindak arif sebagai Bapak, sebagaimana seorang wartawan melukiskan rasa
terhinanya Presiden, ketika ia didesak meninggalkan Istana untuk memudahkan
penangkapan terhadap Subandrio. Ketika itu Bung Karno dengan nada rendah
memohon kepada Amir Machmud, selaku Kodam Jaya: "Amir, jangan bunuh
dia". (J.D. Legge, Op.Cit, h. 403)
Frans Seda juga mengungkapkan betapa ia bingung dengan "Diam seribu
bahasa"-nya Bung Karno. Ketika Frans Seda sudah terseret dalam arus
konflik politik yang kian memanas, hingga tidak jelas mana lawan mana kawan,
tetapi ketidaksabaran Frans Seda hanya dihadapi Bung Karno dengan senyum:
"Bukankah dalam.Biblemu tertulis, Apabila engkau ditampar pipi kiri,
tadahlah pipi kananmu?" (Frans Seda, "Mikul Dhuwur mendem Jero", dalam Bung Karno dalam
kenangan, h. 76)
Baca Juga : Propaganda Media Massa Dalam Peristiwa G30S/PKI
Bung Karno sendiri, rupanya sejak awal menyadari, bahwa kalau pun benar PKI
terlibat dalam tragedi Nasional itu, tetapi PKI bukan sendirian. Dalam sebuah
pidatonya, Bung Karno menunjuk 3 penyebab "keblinger"-nya
pimpinan PKI, kelicikan kekuatan-kekuat an NEKOLIM dan "kenyataan
adanya orang-orang aneh". Karena itu, Bung Karno sengaja memilih kata
"Gestok"-Geraka n 1 Oktober, disamping karena kejadian itu sudah
pagi, juga untuk menekankan bahwa "penyerang yang sebenarnya adalah mereka
yang melakukan gerakan kontra revolusi setelah PKI". (J.D. Legge, Op. Cit, p. 405)
Demikian penjelasan Bung Karno lebih lanjut, sebagaimana ditulis Frans Seda:
Apa yang dilakukan PKI dengan Gestoknya adalah suatu tindakan terkutuk dan
pembunuhan para Jenderal tidak bisa dibenarkan dan harus diambil tindakan-tindak an
hukum seperlunya. Tapi reaksi-reaksi emosional yang timbul di kalangan Angkatan
Darat dan sementara partai politik dan para mahasiswa, justru sangat memberi
peluang kepada Nekolim untuk menghancurkan Revolusi kita. Dan bahaya Nekolim
itu riil. Ingat adanya "Limited Attack" dan "Local Army
Friends" seperti yang tertulis dalam Gillchrist dan In hogere Kringen di
Washington ada suara-suara "it will not be long Sukarno". (Frans Seda, Op. Cit, h. 76-77)
Tetapi pada saat politik kotor dan adu domba itu sudah mencapai batas
kesabarannya, Bung Karno berkata dalam amanat yang disampaikan dalam rangka
Isra' Mi'raj, Bung Karno mulai mengungkap makna sikapnya yang "diam seribu
bahasa". "Diamku bagaimana?", tanya Bung Karno. Bung Karno
menjelaskan, seperti diam dan sabarnya Nabi Muhammad, bahkan ketika di Ta'if
sampai dilempari kotoran. "Tetapi sesudah Isra' Mi'raj, dia bertindak,
bertindak, sebab sudah haqqul yaqin. Ini adalah perintah, ini adalah tugas yang
disuruh ia mengemban. Dia bertindak, bertindak, sampai kepada peperangan,
sampai kepada hal-hal yang lain-lain". Bung Karno berusaha sekuat tenaga,
tetapi kekuatan yang menghadang di depannya terlampau besar dilawannya.
Maka Bung Karno mengalami saat-saat seperti Kristus, ketika bergumul dengan
air mata darah di Taman Getsemani. "tidak ada yang mustahil bagiMu, Ya
Abba, ya Bapa, ambillah cawan ini daripadaku". Dalam ketidakpastian itu,
ia masih mengerahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk perjuangan menegakkan
kebenaran. Ia menyusun kabinet yang terkenal dengan sebutan "Kabinet 100
menteri". Menurut Garnis Harsono, tindakan itu agaknya diilhami oleh Kitab
Nabi Daniel, yang mengisahkan bahwa Darius Agung mengangkat 120 menteri dan 3
perdana menteri. (Garnis Harsono, Op. Cit, h. 204)
Tetapi kekuatan lawannya terlalu besar. Kekuatan imperialis internasional
dengan AS yang ternyata "tidak bersih tangan terhadap kejatuhan Bung
Karno". Menarik untuk dicatat, dalam masa-masa paling sulit Bung Karno
selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Ketika tiga Jenderal duta SUPERSEMAR, yaitu
Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M Jusuf dan Brigjen Amir Machmud, tiba-tiba
"menodong" Bung Karno untuk menandatangani Surat Perintah yang
dirancang Suharto itu, Bung Karno bergumul dengan dirinya sendiri. Bung Karno
meminta saran kepada tiga Waperdam (Wakil Perdana Menteri) yang ketika itu
hadir, yaitu Subandrio, Chaerul Saleh dan Leimena.
"Waktu Bapak ragu-ragu Pak Chaerul Saleh mengingatkan untuk memohon
petunjuk Allah", kisah Ibu Hartini. Lalu Bung Karno masuk ke kamar.
Seperti biasa, dalam saat-saat kritis Bung Karno melakukan semedi setelah sholat.
"Ketika keluar dari kamar Bung Karno akhirnya menandatangani Surat
Perintah dengan lebih dahulu mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim",
lanjut Ibu Hartini. (Wawancara dengan Ibu Hartini di Jakarta, 7 Juli 2000)
Hari-hari selanjutnya seolah olah semua mengalir begitu cepat, hingga pada
akhirnya Bung Karno ikhlas ketika bulan Maret 1967 diterima berita bahwa MPRS
telah memutuskan Suharto, Jenderal TNI yang waktu itu menjadi Pangkopkamtib,
menjadi Presiden RI, menggantikan Bung Karno. Berita itu diterimanya di Istana
Bogor di dampingi istrinya, Ibu Hartini. "Kelihatan benar betapa terpukul
hatinya saat itu", tulis Bambang Widjanarko, mantan ajudan Presiden yang 8
tahun setia mendampinginya. "Lama ia duduk tanpa kata
sepatahpun". Akhirnya, sambil menarik nafas panjang Bung Karno berkata:
"Aku telah memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan
bangsa Indonesia".
0 komentar:
Post a Comment