Telusuri artikel, makalah dan kisah sejarah

Sunday, 21 April 2019

Rahasia Kekuatan Batin Bung Karno

Apakah sebenarnya rahasia kekuatan bathin Bung Karno? Dalam perjuangan, Bung Karno tidak pernah menghitung hitung untung dan rugi. Apakah perjuangan itu nanti akan membawa untung bagi kita pribadi, itu tidak menjadi soal, kita jalankan saja kita punya kewajiban. (Soekarno: Marhainisme sebagai Teori Perjuangan. Kursus kader PNI, 25 Maret 1965).

"Khrisna berkata pada Arjuna", demikian Bung Karno menyitir Bhagawad Gita. "Karmanye fadikaraste temapalesyu kedachana". Artinya: Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung hitung akan apa nanti akibatnya. Kehidupan dan pengabdian Bung Karno, benar benar terbukti telah menjalankan sabda suci yang tertulis dalam "The Gospel of Hinduism" yang acap dikutipnya itu.

Perjuangan ikhlas tanpa pamrih yang dijiwai oleh ajaran kasih sayang tanpa batas. Semangat juang yang menurut pengakuan Bung Karno sendiri diilhami ajaran "Tat Twam Asi" dan khotbah Yesus di atas bukit. Pandangan hidup itu tercermin dari kehalusan jiwa Bung Karno yang sangat mencintai dan menghargai kehidupan, berupa mahkluk apapun.

Baca juga : Kudeta Kekuasaan Terhadap Soekarno

Kenyataan jiwa Bung Karno yang demikian itu, jelas sangat kontras dengan fitnah politik yang diarahkan kepadanya. Misalnya, dia dianggap menyetujui pembunuhan jenderal jenderal pada G30S/PKI, hanya karena pidato pidatonya menyitir Bagawad Gita. Misalnya, seperti dikutip A.H.Nasution, Bung Karno menceritakan keragu raguan Arjuna karena harus berperang dengan sanak familinya sendiri. Arjuna lemas, lemas. Khrisna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, engkau ini kesatria. Tugas kesatria berjuang. Tugas kesatria bertempur kalau perlu. (A.H.Nasution, Memenuhi panggilan tugas. Jilid IV, hal. 242. Pidato ini disalahartikan maknanya oleh Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai, Jakarta, 1989).

Kedua hal ini tampak kontradiktif dan paradoksal, khususnya mereka yang tidak memahami falsafah Jawa. Bukankah perang yang sesungguhnya sebenarnya ada dalam diri manusia sendiri? Ya, itulah Bharatayudha yang sesungguhnya. Bung Karno sangat mengagumi heroiknya perang Bharatayudha, perang antara yang haqq dan yang bathil. Lebih lebih apabila jati diri kita sebagai bangsa diinjak injak. "Di bawah sinar suryanya Dwitunggal proklamasi", demikian pesannya pada pidato proklamasi 1966 pasca G30S/PKI, "kita berjuang membangun national dignity (harga diri nasional) dan perumahan bangsa kita". Dalam konteks itu, ia sering mengutip kisah kisah heroik dari wiracarita (epos kepahlawanan) Hindu, seperti diwarisinya dari pewayangan: "Hayo, majua kabeh leganing atiku! Aja siji aja loro. Saleksa ing ngarso, saketi ing wuri! Ampyaken kadyo wong njala, rayahen kaya menjangan mati. Sumendea gunung Merbabu, ancik ancika gunung Merapi! Kekejera kaya manuk branjangan, kopat kapito kaya ula tapak angin! Keno gepuk limpung alugara (persatuan Indonesia) ajur mumur tanpa aran!"

Artinya: Ayo maju semua kalau berani, biar lega hatiku. Maju ke depan. Jangan seorang, jangan dua orang. Sepuluh ribu dari depan, seratus ribu dari belakang. Majulah seperti penjala menjaring , seperti anjing berebut tulang. Ayo, bersandarlah pada gunung Merbabu, berdirilah diatas puncak Merapi. Tetapi pada akhirnya kalian akan menggelepar gelepar ingin lepas seperti burung branjangan, meliuk liuk seperti ular sendok. Dengan satu pukulan mematikan (persatuan Indonesia) ini, kalian akan hancur seperti butiran butiran biji tiada arti.
Demikian Bung Karno membangkitkan semangat rakyatnya. Sebagaimana ia mengaplikasikan ungkapan "Gepuk Limpung Alugara" (satu pukulan yang sangat mematikan) sebagai persatuan Indonesia, demikian juga mengarahkan seluruh heroik pertempuran Bharatayudha itu pada persatuan bangsanya. "Dharma eva hato hanti", kata Bung Karno. Kalimat Sanskrit, yang berarti kuat karena bersatu, bersatu karena kuat.

Tetapi kenyataannya Bung Karno bersifat pemaaf dalam kehidupan pribadinya. Contoh paling menarik dalam menegakkan harga diri bangsa pada satu pihak, dan sifat pemaaf dalam hubungan pribadi pada pihak lain, dapat dikemukakan kasus percobaan pembunuhan terhadap dirinya oleh Aland Pope, seorang penerbang AS.

Karena tertangkapnya Pope ini, telinga dunia mendengar tantangan Bung Karno, dalam pidatonya di Bandung, 4 Juli 1958: "Don't play with fire in Indonesia, go to hell with your aid". Kata kata keras itu diucapkan dengan gaya Bung Karno, yaitu mengarahkan telunjuknya kepada duta besar AS di Indonesia pada waktu itu, Howard P. Jones. Barangkali baru sekali itu dunia mendengar tantangan Presiden sebuah negara yang baru bangkit kepada negara adikuasa di muka umum. Tetapi nyatanya, secara pribadi Bung Karno memaafkan Aland Pope, dan membebaskannya.

0 komentar:

Post a Comment