"Khrisna berkata pada Arjuna", demikian Bung Karno menyitir Bhagawad Gita. "Karmanye fadikaraste temapalesyu kedachana". Artinya: Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung hitung akan apa nanti akibatnya. Kehidupan dan pengabdian Bung Karno, benar benar terbukti telah menjalankan sabda suci yang tertulis dalam "The Gospel of Hinduism" yang acap dikutipnya itu.
Perjuangan
ikhlas tanpa pamrih yang dijiwai oleh ajaran kasih sayang tanpa batas. Semangat
juang yang menurut pengakuan Bung Karno sendiri diilhami ajaran "Tat Twam
Asi" dan khotbah Yesus di atas bukit. Pandangan hidup itu tercermin dari
kehalusan jiwa Bung Karno yang sangat mencintai dan menghargai kehidupan,
berupa mahkluk apapun.
Baca juga : Kudeta Kekuasaan Terhadap Soekarno
Baca juga : Kudeta Kekuasaan Terhadap Soekarno
Kenyataan
jiwa Bung Karno yang demikian itu, jelas sangat kontras dengan fitnah politik
yang diarahkan kepadanya. Misalnya, dia dianggap menyetujui pembunuhan jenderal
jenderal pada G30S/PKI, hanya karena pidato pidatonya menyitir Bagawad Gita.
Misalnya, seperti dikutip A.H.Nasution, Bung Karno menceritakan keragu raguan
Arjuna karena harus berperang dengan sanak familinya sendiri. Arjuna lemas,
lemas. Khrisna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, engkau ini kesatria.
Tugas kesatria berjuang. Tugas kesatria bertempur kalau perlu. (A.H.Nasution,
Memenuhi panggilan tugas. Jilid IV, hal. 242. Pidato ini disalahartikan
maknanya oleh Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai,
Jakarta, 1989).
Kedua
hal ini tampak kontradiktif dan paradoksal, khususnya mereka yang tidak
memahami falsafah Jawa. Bukankah perang yang sesungguhnya sebenarnya ada dalam
diri manusia sendiri? Ya, itulah Bharatayudha yang sesungguhnya. Bung Karno
sangat mengagumi heroiknya perang Bharatayudha, perang antara yang haqq dan
yang bathil. Lebih lebih apabila jati diri kita sebagai bangsa diinjak injak.
"Di bawah sinar suryanya Dwitunggal proklamasi", demikian pesannya
pada pidato proklamasi 1966 pasca G30S/PKI, "kita berjuang membangun
national dignity (harga diri nasional) dan perumahan bangsa kita". Dalam
konteks itu, ia sering mengutip kisah kisah heroik dari wiracarita (epos kepahlawanan)
Hindu, seperti diwarisinya dari pewayangan: "Hayo, majua kabeh leganing atiku! Aja siji aja loro. Saleksa ing ngarso, saketi ing wuri! Ampyaken kadyo wong
njala, rayahen kaya menjangan mati. Sumendea gunung Merbabu, ancik ancika
gunung Merapi! Kekejera kaya manuk branjangan, kopat kapito kaya ula tapak
angin! Keno gepuk limpung alugara (persatuan Indonesia) ajur mumur tanpa
aran!"
Artinya:
Ayo maju semua kalau berani, biar lega hatiku. Maju ke depan. Jangan seorang,
jangan dua orang. Sepuluh ribu dari depan, seratus ribu dari belakang. Majulah
seperti penjala menjaring , seperti anjing berebut tulang. Ayo, bersandarlah
pada gunung Merbabu, berdirilah diatas puncak Merapi. Tetapi pada akhirnya
kalian akan menggelepar gelepar ingin lepas seperti burung branjangan, meliuk
liuk seperti ular sendok. Dengan satu pukulan mematikan (persatuan Indonesia)
ini, kalian akan hancur seperti butiran butiran biji tiada arti.
Demikian
Bung Karno membangkitkan semangat rakyatnya. Sebagaimana ia mengaplikasikan
ungkapan "Gepuk Limpung Alugara" (satu pukulan yang sangat mematikan)
sebagai persatuan Indonesia, demikian juga mengarahkan seluruh heroik
pertempuran Bharatayudha itu pada persatuan bangsanya. "Dharma eva hato
hanti", kata Bung Karno. Kalimat Sanskrit, yang berarti kuat karena
bersatu, bersatu karena kuat.
Tetapi
kenyataannya Bung Karno bersifat pemaaf dalam kehidupan pribadinya. Contoh
paling menarik dalam menegakkan harga diri bangsa pada satu pihak, dan sifat
pemaaf dalam hubungan pribadi pada pihak lain, dapat dikemukakan kasus
percobaan pembunuhan terhadap dirinya oleh Aland Pope, seorang penerbang AS.
Karena
tertangkapnya Pope ini, telinga dunia mendengar tantangan Bung Karno, dalam
pidatonya di Bandung, 4 Juli 1958: "Don't play with fire in Indonesia, go
to hell with your aid". Kata kata keras itu diucapkan dengan gaya Bung
Karno, yaitu mengarahkan telunjuknya kepada duta besar AS di Indonesia pada
waktu itu, Howard P. Jones. Barangkali baru sekali itu dunia mendengar
tantangan Presiden sebuah negara yang baru bangkit kepada negara adikuasa di
muka umum. Tetapi nyatanya, secara pribadi Bung Karno memaafkan Aland Pope, dan
membebaskannya.
0 komentar:
Post a Comment