Telusuri artikel, makalah dan kisah sejarah

5 Kebohongan Sejarah Syekh Siti Jenar

Mengungkap Kebohongan dibalik Sejarah Syekh Siti Jenar

Perjanjian Giyanti

Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta pasca perjanjian Giyanti tahun 1755-1830

PEMERINTAHAN KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

Bidang agama,politik dan sosial ekonomi

Mengenang jatuhnya Konstantinopel

Lebih dari 70 kapal perang diangkut melintasi pegunungan

Perang Sipil Amerika Serikat

Proklamasi emansipasi pembebasan budak di seluruh Amerika Serikat

Wednesday, 1 January 2014

Sejarah Burma

Masa Pra Pragan
Bukti sejarah yang tertua menyentuh negeri Burma berhubungan dengan rute jalan tua melintas daratan antar Cina dan Barat, yang menyebrangi daerah bagian utara negeri ini. Petunjuk pertama pemakainnya tahun 128 SM, ketika Chang Ch’ien menemukan hasil negeri Cina dari propinsi Szechuan, di Bactria. Langkah-langkah diambil untuk menghubungkannya tetapi hanya pada tahun 69 Cina menemukan perfektur Yung Ch’ang menyebrangi Mekong dengan markas besarnya di timur Salween, kira-kira 60 mil dari perbatasan Burma sekarang. Rakyat yang menyarankan disebut Ai-lao, yang dikatakan dibawa kekuasaan 77 “bangsawan daerah”. Mereka melubangi hidungnya dn memakai anting-anting di telinga. Segera setelah pendirian perfektur itu mereka berontak. Dengan menekan pemberontakan mereka di sana lahir kedamaian seabad selama itu rakyat di luar mereka, yang di sebut oleh orang Cina, Tun-jen-i dan Lu-lei, mengirim utusan-utusannya. Mereka diperkirakan bermukim dibagian utara Burma.
            Tahun 97 utusan-utusan datang dari Tan atau Shan dari kekaisaran Romawi tiba di Yung’ Ch’ang melalui route darat utara. Mereka mungkin datang dari Tani, sebelah timur delta Nil. Pelancong-pelancong antara kekaisaran Romawi dan Cina memakai route lautan dan singgah sebentar melalui jalan darat menyeberang Tanasserim. Jadi tahun 131-132 armada Tan dalam perjalanan ke Tongking, kemudian di tanagan Cina, dikatakan telah menggunakan jalan ini, sebagaimana juga utusan dagang dari kekaisaran Romawi ke Cina tahun 166 dan pedagang Ch’in Lun tahun 226.
            Dongeng Buddha orang-orang Burma mengatakan pengaruh India masuk ke Burma pesisir melalui pantai. Dalam jataka daerah itu disamakan dengan Suwarnabhumi, negeri emas. Sebuah cerita populer orang-orang Burma mengatakan dua orang bersaudara Tapusa dan Palikat, telah diberi delapan helai rambut kepala oleh Gautama. Ini dibawa melalui laut ke negeri emas dan disucikan di Pagoda Shawe Dagon, yang dipuja di Rangoon sekarang. Babad Mon berisi dongeng yang menceriterakan bagaimana Sona dan Uttara, dua orang pendeta Buddha, ditugaskan ke negeri emas oleh synoda Buddha ke tiga Pataliputera sekitar tahun 241 SM. Tetapi begitu jauh berkenaan dengan bukti sejarah, tidak ada sisa-sisa masuknya pengaruh India sebelum didapatnya fragmen buku suci Pali di Hmawza ( Srikesetra atau Prome Lama) tahun sekitar 500 M.
            Geographia karangan Ptolemy menunjukkan secara kasar garis pantai yang sama dengan pantai Arakan dan Burma sampai Sejauh Teluk “Sabara“ (Martaban). Yang disebut Argyra tepat benar dengan situasi di Arakan, ia menyebut chryse sebagai tetangganya. Ia menyebut suku bangsa yang kanibalistis yang menghuni muara sungai yang oleh para cendekiawan diperkirakan di daerah moulmien. Ini mungkin mengandung arti penting karena nama-nama itu ada hubungannya dengan nama Vesunga, sebuah pelabuhan yang disebut dalam jataka.
            Dalam hubungan dalam penaklukkan Fan shih-man, Raja Besar Funan, yang telah disebut pada bab sebelumnya tentang kerajaan Buddha, Lin-yang, yang diperkirakan terletak di Burma Tengah. Jika benar demikian, kapan masuknya aliran Buddha? Apakah dari India melalui route daratan di utara? Tulisan-tulisan Cina dari abad ke IV seterusnya menunjukkan adanya suku-suku yang liar yang bisa membuat keributan di barat daya Yug-Ch’ang, dan terutama suku Pyu, yang badannya di tato, memakai busur dan panah dan beberapa diantaranya kanibal dan tanpa busana. Di luar mereka kira-kira 3000 li di barat daya Yug’Ch’ang ada sebuah masyarakat yang beradab, masyarakat P’iao, yang seperti masyarakat Pyu, menurut ingatan setempat, yang masih ada merupakan penduduk Burma yang paling awal.
            Ibu kotanya, Srikshetra, disebut pada abad VII oleh Hsuan-tsang dan I-tsing, dua orang Cina yang telah melakukan perjalanan keagamaan. Dongeng-dongeng tentang masyarakat ini datang dari daerah antara Halin di distrik Shwebo da Prome. Prasasti-prasasti dari kedua tempat ini berasal dari abad VII atau sebelumnya. Prasasti pada guci tanah liat, yang arti dan maknanya berhasil diungkapkan oleh almarhum Otto Blagden, menyebut dinasti Wikrama memerintah di Prome sedikitnya dari tahun 673 sampa tahun 718. Tiga orang raja disebut-sebut:
·      Suryawikrama, mangkat tahun 688, jadi berusia 64 tahun
·      Hariwikrama, mangkat tahun 695, jadi berusia 41 tahun
·      Sihawikrama, mangkat tahun 718, jadi berusia 44 tahun
            Tahun-tahun itu bersifat sementara karena zamannya tidak disebutkan. Bila ini “zaman Burma” seperti diperkirakan, yang mulai tahun 638, ini mungkin ada benarnya sebagai zaman Pyu di bawah dinasti ini. Prasasti-prasasti juga diketemukan dengan nama dinasti Warman, tetapi dimana memerintahnya belum diketahui. Namun itu menunjukkan kemungkinan pengaruh Pallawa dari Conjeweram.
            Srikshetra, sekarang Hwamza, satu-satunya tempat peninggalan Pyu yang diselidiki dengan  seksama, telah memberikan banyak bahan-bahan berharga bagi para arkeolog. Di sana ada sisa tembok kota yang banyak dan kokoh, meliputi area yang lebih luas dari Pagan atau Mandalay dengan parit-parit luar dan dalam yang mengesankan. Pentingnya kota ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa prasasti-prasasti Mon sampai terakhir yang mengenai pemerintahan Kyanzittha (1084-1112) masih menyebut ibu kotanya Srikshetra. Di dekatnya terdapat  3 (tiga) stupa Buddhis besar-besar, yang tingginya 150 kaki. Juga ada sejumlah tempat-tempat suci kecil dengan bentuk atap melengkung , yang merupakan prototype candi-candi Pagan . Banyak patung batu sebagai relief menurut gaya seni Gupta, patung-patung kecil disekelilingnya, mata uang perak mugkin simbolis, dengan lukisan-lukisan yang cermat tentang matahari, bulan dan bintang-bintang dan lempengan-lempengan tanah liat yang berwarna merah bertuliskan doa-doa dengan dongeng Sansekerta dalam huruf-huruf Nagari.
            Peninggalan-peninggalan keagamaan bercampur dan terpadu. Banyak patung bata Wisnu, patung-patung kecil dari perunggu untuk Awalokiteswara dan Bodhisattwa Buddha Hinayana yang lain, di samping kelompok-kelompok patung dan prasasti-prasasti berbahasa Pali, yang menunjukkan Buddha Hinayana telah berkembang di sana sejak tahun-tahun permulaan. Mayat dibakar dan abunya disimpan  dalam periuk di Pagoda atau dikuburan luas beralas batu bata yang ditutup dengan tanah. Sebelumnya telah disebut tentang Dinasti Chandra dari Vaisali, raja-raja Arakan pertama yang dibuktikan oleh tulisan-tulisan. Sumber yang sama menyebut Dinasti ke dua, didirikan dalam abad VIII oleh Sri Darmawijaya, yang cucunya menikah dengan seorang putri Raja Pyu di Srikshetra.
            Dalam abad VIII dan IX Negara T’ai di Nanchao menduduki daratan dan pesisir Burma lebih luas lagi. Rajanya, Kolofeng (748-779) mendirikan benteng untuk mengawasi hulu Irrawaddhy dan memasukkan suku-suku setempat ke dalam pasukannya. Beliau punya hubungan dengan Pyu, yang mungkin menjadi bawahannya, karena serdadu-serdadu Pyu bekerja unutk pasukan Nanchao merebut Hanoi tahun 863. Peperangannya yang membuka jalan tua ke India menyeberangi daratan Burma. Salah satu jalan menebus ibu kota Pyu” mungkin ini adalah Halin” dari sana menanjak ke Chindwin sampai perbatasan Manipur. Ada tanda-tanda bahwa Burma bagian utara pada masa ini memperlihatkan banyak perkembangannya. Penulis-penulis masa kini menyebut hasil emas, garam, kuda ternak bertanduk panjang, gajah untuk membajak, batu akik dan banyak lagi yang lain-lain.
            I-mou-hsun, cucu dan pengganti Holofeng, mengirim hadiah pemain-pemain musik ke istana T’ang tahun 800. Dalam tahun 801-802 raja Pyu mengirim utusan resmi, diiringi oleh 35 orang pemaian musik, ke Cina lewat Nanchao. Perhatian Cina terhadap Pyu cukup baik dan buku sejarah T’ang berisi laporan tertulis tentang ibu kota Pyu. Orang-orang Cina juga menyebutkan bahwa tahun 802 “pemberontak-pemberontak Mon” (Nanchao) menyerbu ibu kota Pyu dan memberangkatkan 3000 tawanan ke Yunanfu.
            Pyu menuntut kedaulatan atas 18 daerah/negeri bawahannya terutama di dataran rendah Burma. Salah satunya, Mi-chen, yang rajanya mendapat pengakuan dari Cina tahun 805 dan pada tahun 835 telah dihancurkan oleh Nanchao. Diantaranya juga negara-negara K’un lun dekat pelabuhan Mo-ti-po, dari sini Jawa dan Palembang dapat di capai. Ini adalah negara-negara Mon. Kerajaan Dwarawati di lembah menam adalah pusat kekuatan Mon, dan abadVII menguasai bagian Tenasserim. Prasasti Mon tertua adalah dari abad  ke VIII diketemukan di Lpburi. Negara-negara Mon di Burma dan Siam tetap memelihara hubungannya satu dengan yang lain da atas dorongan pengaruh kebudayaan India mengembangkan peradaban yang tinggi.
            Negara-negara K’un-lun memukul mundur serangan Nanchao yang menghancurkan Mi-chen. Ahli-ahli bumi bangsa Arab menyebut daerah dataran rendah Burma dengan nama Ramannadesa ( Ramannyadesared), “daerah Mon”. Kata itu adalah adaptasi dari kata kuno Mon Rmen. Kemudian orang-orang Burma menyebutnya Talaing, oleh karena itu menyamakannya dengan daerah India, Telinggana, yang ada hubungan kebudayaan antara keduanya. Babad Mon menunjukkan pembangunan ibu kota mereka, Hamsawati, sekarang Pegu, pada tahun 825. Pegan, ibu Kota Burma, masuk sejarah tahun 849. Tahun tradisional mengenai pembangunan tembok-temboknya oleh Pynpye. Dikatakan dibentuk oleh kesatuan 19 desa. Bila tahun itu benar, pembakaran terhadap penduduk ibu kota, Pyu, di utara menyebabkan gerakan pengungsi ke selatan yang akan membentuk formasi suatu pusat baru di pagan. Babad Burma mendorong ke belakang pendiriannya pada abad II, tetapi ada kesuliatan yang tidak dapat diatasi dalam cara menerima hipotesis ini.
                       
Kekaisaran Pagan (1244-1287)
            Anawrahtalah (1044-1077) pertama sekali menyatukan Burma secara politis dan membina kebesaran Pagan. Tetapi beliau tokoh besar tidak begitu legendaris daripada seorang tokoh sejarah. Lagipula tidak ada sebuah prasastipun yang berasal dari masa-masa pemerintahannya, kecuali dalam lempengan-lempengan doa yang ditulis pendek-pendek. Hasil karyanya cukup nyata dan memberi kesan abadi pada negeri dan rakyatnya. Beliau menyatakan di bawah lindungannya sebagian besar apa yang disebut burma asli, bersama-sama dengan bagian utara Arakan dan dataran rendah Burma, negeri Mon itu. Ke timur beliau mengirim ekspedisi memasuki negeri Shan, tetapi tanpa maksud menambahkan ke wilayah kerajaannya, karena beliau membangun barisan 43 sebuah pos sepanjang bagian timur kaki bukit untuk mempertahankan Shan agar  jangan sampai memasuki dataran rendah. Babad Siam menyebut bahwa beliau menyerang Kamboja dan memerintah atas apa yang disebut Siam, mendapatkan Buddha Hinayana, yang ditegakkan sebagai agama resmi di Pagan, dari Nakorn dan Pat’on. Tetapi rupanya tidak ada dasar sejarah yang menerima kesimpulan itu.
            Karyanya yang paling penting adalah penaklukkan kerajaan Mon, Thaton. Tradisi menyebutkan bahwa beliau mengambil seorang pendeta Mon, Shin Arahan, dan menugaskan untuk menjadikan orang-orang Burma pemeluk Buddha Hinayana. Ini berakhir dengan pertikaian melawan kelompok pendeta yang terkenal sebagai Ari, yang menguasai dataran tinggi Burma. Mereka menganut Mahayana dan menjalankan upacara tantris dan upacara yang erotis. Untuk mendapatkan salinan buku suci Pali, Tripitaka, untuk memberikan pelajaran yang benar bagi rakyat, beliau menaklukkkan Thaton, yang memiliki 30 set lengkap, di bawa ke Pagan, rajanya bernama Manuha dan rakyatnya semuanya berjumlah 30.000 jiwa. Garis besar cerita itu dapat diterima oleh para sejarawan. Bagian bangunan untuk menawan raja yang tertangkap dan istananya masih ada seperti juga bangunan perpustakaan, Tripitataik, yang dibangun untuk menyimpan buku-buku suci itu.
            Sekarang Pali menjadi bahasa suci orang-orang Burma dan abjad Mon diterima untuk menuliskan bahasa Burma. Abad pertama sejarah Pagan dikuasai oleh Mon, bahasa prasasti masa ini Pali atau Mon. Tetapi Buddhisme yang telah di bawa dari Thaton bukan Hinayana. Bukti tulisan dan arkeologi menunjukkan dengan jelas bahwa buddhisme Pagan, menurut Luce, “bercampur Mahayanisme, dan menjelang masa akhir dinasti itu sedikitnya dengan tantrisme. Tinggal yang tidak meragukan adalah pemujaan gua Naga yang dalam dan pemujaan Nat”. Dan di ruangan mahkota raja Manuha di tempat suci Nampaya di selatan Pagan relief-relief rata raksasa Hindu menunjukkan betapa eratnya hubungan kedua agama itu. Selanjutnya meskipun tradisi menyebut Buddhagosha membawa Buddhisme Pali ke Thaton tahun 403 dari Ceylon, bukti sejarah tetap menunjukkan bahwa pengaruh sebenarnya atas Buddhisme Thaton bukan Ceylon melainkan Conjeweram, yang menjadi pusat terkenal dalam abad V di bawah Dhammapala, seorang komentator besar. Prasasti-prasasti Mon tertua dalam tulisan-tulisan Pallawa.
            Babad-babad itu berisi cerita tentang hubungan dengan Ceylon dalam pemerintahan Anawarahta. Chola menyerang, menyebabkan Wijaya Bahu muncul di Pagan untuk membantu. Anawarahta mengirim hadiah yang mahal sebagai pertukarannya, kemudian ketika beliau berhasil mengusir penyerang-penyerang itu, Wijaya Bahu mengirim lagi ke Pagan para Bhiksu dan salinan buku suci untuk membantunya dalam tugas untuk membangun kembali. Ini dikirim dan sebaliknya raja-raja Burma menerima hasil tiruan yang sangat indah dari Gigi Kandy, yang disucikan dan di puja di bawah Pagoda Swezigon. Betapapun kebenaran cerita itu, arti pentingnya terletak pada kenyataan bahwa dalam abad XI Conjeweram tidak lagi menjadi pusat Buddha yang besar; Brahmanisme telah mendapat kemenangan di situ. Kemudian Ceylon menggantikannya sebagai pusat Buddha Theravada.
            Penaklukkan Thaton oleh Anawrahta merupakan peristiwa penting dalam sejarah Burma. Peradaban Mon lebih tinggi daripada Burma dan pengaruh tawaran-tawaran Thaton adalah besar, meskipun barangkali kurang penting daripada pembukaan pintu ke laut , sebagai hasil atas penguasaan delta Irrawaddhy, lagi pula karya Anawahta menjamin kejayaan Buddha Theravada yang pada saatnya menjadi faktor yang paling kuat dalam kehidupan nasional Burma. Tetapi candi pagon yang indah itu belum berdiri sampai sesudah masa pemeritahannya. Beliau mendirikan pagoda-pagoda yang kuat, bukan candi-candi. Pagoda Swezigon yang mulai dibangun tahun 1059, merupakan monumennya yang utama dan ini penting karena salah satu hiasannya adalah sederetan tempat-tempat suci untuk Tiga Puluh Delapan Nat. Pemujaan Nat, bentuk animisme burma sendiri, yang sangat penting sebagai unsur penunjang basis kebudayaan di Asia Tenggara secara keseluruhan, terus berkembang dengan kekuatan yang melemahkan pikiran manusia pada saat-saat tertentu dari yang tertinggi turun ke bawah. Ayat-ayat suci Pali yang memperkenalkan etika Buddha, akhirnya mencetuskan kekuatan moral yang memadai untuk membebaskan mereka dari keburukan praktek animisme mereka. Tetapi Buddha harus terikat dengan agama lama dan dengan demikian ada dalam dua bentuk: satu sangat dekat terjalin dengan Buddhisme, dan ke dua tidak ada hubungannya dengan apa-apa dan tidak disenangi oleh para biarawan.
            Penaklukkan Mon oleh Anawrahta mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan  rakyat. Mulailah pertengkaran oleh orang-orang Burma dan para Bhiksu yang berlanjut sepanjang sejarah Burma, dan yang mennyebabkan pada pertengahan abad XIX pembatasan yang keras bagi para Bhiksu sebagai sekelompok rakyat. Suatu pemberontakan para Bhiksu benar-benar mengakibatkan berhentinya dengan tiba-tiba kekuasaan Sawlu ( 1077-1084) putera dari Anawrahta. Tetapi Pagan di selamatkan oleh putera Anawrahta yang lain, yang berhasil mengalahakan para Bhiksu dan nak tahta. Raja Kiyanzittha ( 1084-1112), sebagaimana dikenal dalam babad, mengangkat keluarga kerajaan Burma ke tingkat yang lebih tinggi daripada dari yang telah dicapai sebelumnya. Beliau dinobatkan secara besar-besaran dengan upacara yang bersidat Brahmana, mendirikan istana untuk dirinya, dan membuat serentetan prasasti sebagian bsar dalam bahasa Mon, yang digolongkan sebagai kesusasteraan. Menurut cerita beliau diasingkan di daerah Mon selama kekuasaaan ayahnya.  Beliau bersimpati kepada orang-orang Mon dan menganut kebudayaannya. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa, setelah di tindas pemberontakan mereka, tidak ada kekacauan lagi dari mereka selama waktu yang cukup panjang.
            Kyanzittha menghidupkan lagi praktek mengirimkan utusan ke Cina. Dua yng dikirmnya: tahun 1103 dan 1106, mungkin dimaksudkan untuk mencoba memudahkan perdagangan lintas darat dengan Yunan, yang telah hidup lagi setelah Nanchao dijajah Cina akhir abad IX. Beliau juga raja Burma pertama yang ikut aktif dalam kegiatan di candi Mahabodi di Buddhagaya. Pekerjaan merestorasi yang dilaksanakan di sana atas perintahnya, dicatat dalam prasasti dalam bahasa Mon di Pagoda Shwehsandaw di Prome.
            Beliau mendapat giliran dikunjungi oleh seorang putera mahkota Chola, yang banyak dispekulasikan. Harus diingat bahwa Chola telah menyerang Sriwijaya tahun 1025, menaklukkan Kedah tahun 1068-1069 telah mengembangkan kebudayaan perdagangan yang luas dengan Asia Tenggara dan telah mengirim utusan-utusan ke Cina. Apa yang dikerjakan oleh putera mahkota Chola itu di Pagan? Mugnkin jawabannya adalah bahwa beliau seorang penyelidik untuk mengembangkan perdagangan atau melancong yang ingin memperkaya pengetahuan bukan seorang penguasa sebuah koloni Tamil di daerah delta. Seperti diperkirakan tadinya. Belum terbukti bahwa pernah ada koloni semacam itu di Burma. Apak bukan contoh lain tentang mythe kolonisasi yag bertumbuh dengan melalui pemakaian istilah “koloni” yang diartikan sama dengan sebuah tempat tinggal pedagang-pedagang murni dan sederhana.
            Cerita Kyanzittha tercatat pada prasasti yang di buat oleh Alaungsithu (1112-1167) yaitu cucu sekaligus pengganti beliau, di Pagoda Myazedi, di selatan Pegu, tahun 1113. Ini disebut batu Rosetta Burma, karena teks yang sama terdapat pada ke empat bidang sisinya dalam bahasa-bahasa Pyu, Mon, Burma dan Pali. Penemuannya tahun 1911 melengkapi bukan saja sebagai kunci bagi bahasa Pyu tetapi juga bagi tahun-tahun para raja awal di Pagan.
            Pemerintahan Alaungsithu memperlihatkan dua gambaran yang sangat penting yang sangat kontras. Satu, banyak di sebut dalam babad-babad, adalah seorang raja Buddha yang ideal, yang mengadakan perjalanan jauh, dan luas keseluaruh kerajaannya memancarkan karya-karya kebajiakan dan gubahan prasasti-prasasti yang mencerminkan pikiran-pikiran yang dalam tentang keduniaan yang lain, yang dilahirkan dalam bentuk puisi yang tak terkalahkan dalam kesusasteraan negerinya. Bangunannya yang terindah, candi Thatpinnyu, diresmikan tahun 1144. Gayanya menyerupai gaya candi Ananda, tetapi bagian tengahnya menjulang lebih tinggi sebelum mulai bangiannya yang meruncing. Semangat yang mengilhami Alaungsithu dalam karya-karya keagamanannya mencapai ekspresinya yang sempurna dalam doa berbahasa Pali yang dituliskan alam Pagoda Shwegu. Mutatis-Mutandis, menonjolkan aspirasi kesucian abad pertengahan dalam agama Kristen.
            Gambaran yang lain adalah pemberontakan dan kekacauan. Raja pada tahun-tahun awal menghadapi pemadaman pemberontakan-pemberontakan di Tanasserim dan bagian utara Arakan. Sebuah prasasti di Buddhagaya memperingati perbaikan-perbaikan yang dilakukan di sana atas permintaan Alaungsithu oleh seorang raja Arakan sebagai tanda hormat karena membantu pengusiran seorang perampas kekuasaan. Tetapi lamanya raja tidak hadir di ibu kota menyebabkan mengendurnya pengawasan atas pemerintahan yang membahayakan. Hasil terakhir adalah terbunuhnya raja oleh putranya bernama Narathu yang merebut tahta tahun 1167.
            Pemerintahannya sendiri yang sangat singkat (1167-1170) penuh kekacauan dan pertumpahan darah, yang memuncak pada terbunuhnya beliau dalam pemberontakan di sitana. Puteranya Naratheinka, yang menggantikannya, juga gagal mencapai kemenangan dalam melawan kekacauan yang ada di mana beliau telah terbunuh oleh pemberontak tahun 1173. Terulang pada adiknya, Nanapatisithu (1173-1210) untuk mengembalikan perdamaian dalam negeri dan meneruskan pembangunan monumen-monumen yang arsitektual yang indah.
            Masa kekacauan antara tahun 1167 dan 1173 rupanya merupakan garis pemisah dalam sejarah Pagan. Dari kurun waktu bahasa Mon menjadi bahasa utama dari prasasti-prasasti, tiba-tiba kita memasuki kurun waktu bahasa Burma menjadi sangat penting. Selama sisa kurun waktu Pagan, bahasa Mon menjadi suatu ekspresi sastra sama sekali lenyap sudah. Apakah pertarungan selama 6 tahun dari tahun 1167 dan 1173 itu dapat dijelaskan dalam arti munculnya nasionalisme Buma, suatu reaksi atas pengaruh Mon? Apapun penjelasannya, suatu revolusi kebudayaan telah terjadi yang membuat Burma menggantikan Mon sebagai sesuatu yang berpengaruh besar selama abad terakhir sejarah Pagan. Dan karena bukti positif kurang maka tidak diperlukann perluasan angan-angan untuk mengertinya barang kali, sebab utama pemberontakan Mon pada umumnya yang pecah ketika Tatokpyemin “lari dari pengaruh orang-orang Cina” setelah Burma kalah di Kaungsin tahun 1283.
            Pemerintahan Narapatisithu, yang terpanjang dalam kurun waktu Pagan, banyak menarik perhatian. Dua dari candi yang terindah, Gawdawpalin dan Sulamani, didirikan di Pagan, dan sejumlah besar pagoda-pagoda dimana-mana. Banyak pekerjaan irigasi juga dikerjakan dikedua distrik Kyaukse dan Swebo. Tetapi pembangunan yang terpenting adalah pemasukan Buddha Sinhala dan mulai gerakan keagamaan yang akhirnya menjadi pengganti bentuk Conjeweram yang di bawa sari Thaton dalam pemerintahan Anawrahta.
            Cerita seperti diberikan dalam Hmanan Yazawin (Babad istana kaca), menyebutkan bagaimana selama kekacauan dalam pemerintahan Narathu pengganti Shin Arahan, pendeta besar Phantagu, kembali ke Ceylon setelah Narapatisithu naik tahta ia kembali, tetapi segera meninggal. Penggantinya, Uttarajiwa, seorang Bhiksu Mon, mengikuti contohnya tahun 1180 dengan pergi ke sana, dan waktu kembali menerima  gelar “peziarah pertama Ceylon”. Salah seorang Bhiksunya, Chapata, juga orang Mon, kemudian tinggal di ceylon selama 10 tahun. Waktu kembali tahun 1190 ia menjadi “peziarah ke dua Ceylon”. Bersama dia diajak 4 Bhiksu asing, salah satu diantaranya bernama, Tamalinda, menurut Coedes tentu putera Jayawarman VII dari Angkor.
            Putera dan pengganti dari Narapatisithu, Nantaungmya (1210-1234) lebih dikenal dengan samaran “Htilominlo”, doa dinobatkan sebagai raja dengan payung”, suatu kepercayaan bahwa payung kerajaan secara ajaib menandakan beliau sebagai pewaris tahta yang berhak, seorang yang terakhir sebagai pendiri candi-candi besar. Beliau menghabiskan waktunya sepenuhnya untuk karya-karya suci hingga pemerintahan kerajaan di serahkan kepada empat saudara beliau, yang memerintah bersama-sama. Pada zaman beliaulah berkembang hidup kebiarawanan dan banyak buku-buku dan penjelasan-penjelasan dalam bahasa Pali dihasilakan. Selama pemerintahan beliau dibangun  dua candi terakhir dengan gaya keagungan , mahabodi sebuah tiruan candi Buddhagaya yang terkenal itu dan htilominto, sebuah candi yang diberi nama sesuai dengan nama samaran beliau.
            Selama pemerintahannya penaklukkan Mongol pada Cina telah sempurna oleh Kubilai Khan. Ketika si penakluk bermukim di Peking, beliau mengirim utusan-utusan untuk minta tanda bukti tunduk dari negara-negara yang tercatat dalam arsip kekaisaran sebagai pembayar upeti pada Kerajaan Tengah. Dalam tahun 1271 wakilnya di Yunan diperintahkan mengirim pasuka ke Pagan untuk meminta pembayaran upeti. Narathipahate dengan congkak menerima mereka. Dua tahun kemudian pemerintahan itu diulangi lagi oleh pasukan kekaisaran, yang membawa surat dari Kubilai Khan sendiri. Raja yang pemberani ini kali ini menangkap utusan dan anak buahnya dan cepat membunuhnya.
            Kubilai yang sangat kejam dalam peperangan, harus menunda tindakannya dan Narathihapate melanjutkan tindakan tantangan dengan menyerang negeri kecil Kaungai di sungai Taping karena kepala negaranya telah tunduk pada Cina. Karena itulah Kubilai Khan menyuruh penguasa-penguasa setempat menghukum Burma dan Gubernur Tali mengirimkan pasukan Tartar yang mengalahkannya di medan pertempuran Ngasaunggyam dan mendesaknya kembali kenegerinya sendiri ( 1277). Pertempuran itu menjadi terkenal karena Marco Polo musafir dari Venisia itu menulis dalam catatannya cerita itu menurut orang-orang yang menyaksikannya.
            Pada waktu yang sama putra mahkota Je-su Timur, cucu Kubilai Khan, menyerbu ke lembah Irrawaddhy untuk menduduki Pagan, kemudian dari sana mengirim pasukan untuk memaksa daerah-daerah propinsi menyerah. Pendudukan Tartar atas kerajaan itu bukanlah yang pertama kali dihadapi. Serangan itu ternilai mahal dan rencana semua mengorganisir bagian utara dan tengah Burma menjadi dua propinsi kekaisaran Tartar dan memperkenankan seorang keluarga raja kembali ke Pagan memerintah Burma Tengah. Karena itu ketika selesainya pembunuhan atas bangsawan-bangsawan istana, di selatan, satu-satunya yang masih hidup Kyawswa yang kembali ke Pagan, dan beliau disetujuai mendapat pengakuan resmi. Jadi untuk beberapa tahun Pagan adalah ibu kota propinsi. Tetapi adanya Pagan tetap berdiri, diancam oleh tiga orang pemimpin Shan yang menguasai daerah Kyaukse yang vital itu, sebagai gudang beras mereka. Tahun 1299 mereka berhasil membunuh Kyawswa dan membakar ibu kotanya.
           
Dari  Penaklukan Mongol Atas Pagan (1287) Sampai Pada  Shan Merampas Ava (1527)
            Serangan-serangan Mongol pada Burma memberikan kesempatan bagi Shan memainkan peranan penting di Burma. Mereka telah mulai mengorganisir Burma bagian utara dan bagian tengah menjadi dua propinsi. Tahun 1283 ketika mereka menguasai Tagaung, mereka telah menjadikan propinsi baru yaitu Chieng-mien. Tahun 1287 ketika Pagan jatuh, orang-orang Shan mulai mengorganisir Burma Tengah menjadi satu  propinsi yang diberi nama Mien-chung.
            Ceritera orang-orang Shan masuk ke dataran tinggi Burma tidak jelas. Sebelum tahun 1260 jelas ada koloni Shan di Myingsaing di propinsi Kyaukse. Kebiasaan raja-raja Burma memperuntukkan bagian daerah dalam area ini bagi resimen-resimen serdadunya dan ada alasan untuk berpikir bahwa koloni itu mungkin dibentuk oleh suatu pasukan bayaran yang dikerjakan oleh Pagan. Babad-babad menceriterakan bagaimana tahun 1260 itu seorang kepala suku Shan dari bukit-bukit mencari perlindungan di Mying Saing dan mengirim tiga anaknya untuk dididik di istana Narathihapate. Ketika terjadi serangan-serangan Mongol, “Shan tiga bersaudara itu” menguasai tiga kota madya. Semuanya di daerah Kyaukse. Athinkaya, yang tertua menjadi kepala di Myingsaing, Yasathinkaya, yang nomordua, mejadi ketua di Mekakaya, dan Thihathu, yang termudamenjadi ketua di Pinle. Kyawswaketika kembali ke Pagan sebagai bawahan dari Mongol, memperkuat pisisi mereka di tiga kota madya itu.dalam sumber-sumberlain dikatakan mereka pertamakali muncul dalam bulan Februari tahun 1289, ketika mereka meresmikan sebuah pagoda di daerah mereka.
            Dua tahun kemudian propinsi Mien-chung lenyap dikarenakan tugas mempertahankannya terlalu berat dan mahal. Orang-orang Shan sekarang menjadi faktor penting dalam situasi Pagan. Kekuasaannya atas daerah-daerah irigasi yang vital memberikan kekuasaannya atas sumber pengiriman bahan makanan kota itu. Kyawswa, setelah menyadari dirinya dalam pasisi yang tidak memungkinkan, minta bantuan luar untuk melawan Shan tiga bersaudara itu. Beliau hanya berhasil membawa kehancurannya sendiri dan kehancuran ibu kotanya.  Pada tahun 1299 orang-orang Shan menangkap dan membunuhnya, kemudaian mereka merampas dan membakar Pagan, dan secara insidentil membantai semua orang Cina di sana.
Mundurnya Mongol merupakan kemenangan Shan. Tapi Myingsaing terlalu jauh dari Irrawaddhy untuk dijadaikan ibukota kerajaan dataran tinggi murma. Ava tempat yang jelas, dengan beberapa alasan dinyatakan tidak menyenangkan oleh orang-orang Brahmana. Akhirnya tahun 1312 Thihathura satu-satunya yang masih hidup dari Shan bersaudara itu menetapkan ibu kotanya dekat Pinya. Prasasti-prasasti berikutnya menyatakan ketakutan orang-orang Mongol kepada Thihathura dengan memberinya gelar “Tarok Khan Myingyi” yang berarti raja yang mengalahkan Cina. Tahun 1315 setelah ada pertikaian keluarga salah seorang anaknya menyeberang sungai dan membangun kota madya lain si sungai Sagaing.
Dengan Mongol meninggalkan dataran tinggi Burma dan melemahnya kekuasaan di Yunnan, membuka jalan bagi bertumbuhnya secara besar-besarab kegiatan Shan jauh di Burma utara dan bagi pendirian kerajaan baru dengan ibukota di Che-lan dan dengan kemauan meluaskan kekuasaannya ke arah selatan. Di Burma sendiri terjadi kekacauan dan ketidak amanan. Raja Shan di Pinya dan Sagaing bertengkar terus menerus dan seorang di antaranya Narathu dari Pinya tahun 1364 minta bantuan orang-orang Maw-Shan untuk menyerang Sagain. Para penduduk lari ketakutan dan lari ke hutan. Orang Maw kembali dan merampas Pinya. Atas dasar itu seorang anak tiri pemimpin Sagain Thadominbya, mendirikan ibu kota baru di Ava dan mulai mendirikan negeri untuk bertunduk dan taat.
Ava didirikan tahun 1364 sampai 1365. Sebagai ibu kota daratan Burma dan setelah 1364 menjadi ibu kota seluruh Burma. Yang terpenting tentang Ava adalah mereka benar-benar orang Burma, bukan orang Shan. Ibu kota kerajaan itu mengikuti pola Pagan. Pendirinya mencari dukungan sentimen nasional orang-orang Burma dengan menelusuri keturunannya dari raja-raja legendaris Tagaung. Dari prasasti-prasasti dalam bahasa Burma, usaha Thadominbya menegakkan peraturannya diarahkan kepada distrik-distrik Burma ke selatan yang tidak dipengaruhi oleh infiltrasi Shan. Thadominbya mangkat karena cacar ketika menyerang Sagu. Penggantinya Myingyi Swasawke (1368-1401), dengan kuat sekali meletakkan tekanan pada keturunannya dari dinasti Pagan.
Masuknya orang Shan ke Daratan Burma membuat terbentuknya suatu pusat Burma baru di sungai Sittang, di mana tahun 1280 sebuah desa telah dibentengi di atas sebuah bukit(taungngu) sebagai pos luarmelawan serangan-serangan mencari budak dari negeri-negeri Karen yang berdekatan. Jatuhnya Pagan menyebabkan banyak keluarga Burma melarikan diri dari pemerintahan, pergi dengan naik gerobak yang merupakan tempat tinggalnya. Perkembangannya mula-mula tidak terhambat, pada pertengahan abad XIV menjadi cukup kuat karena pemimpinnya, Thinhkaba (1347-1358) menyatakan kemerdekaanya dengan menerima gelar kerajaan dan membangun istana dengan gaya tradisional. Selama pemerintahan puteranya, Pyanchi (1258-1377) membawa ombak besar bagi imigran Burma ke Toungoo. Pyanchy membuat prasasti di Pagan, dan mencatatkan  dan menyatakan bahwa ia dengan permaisurinya telah menerima pengungsi-pengungsi dari keganasan Shan. Negara baru itu keadaanya selalu terganggu, di antaranya adalah Ava dan Pagu mencoba untuk menghapuskan kemerdekaannya.
Myingyi Swasawke sangat ingin mengidupkan kembali politik tradisional Burma, menakhlukan orang Mon di selatan. Tapi di awal pemerintahanya ancaman orang-orang Shan di perbatasan-perbatasan utar dan timur sangat serius baginya untuk memulai petualangan-petualangan di Burma pesisir. Pyanchi di Toungoo   bersahabat dengan orang-orang Mon. Karena itu ia dipaksa melaksanakan politik damai, dan tahun 1371 ia mengadakan perundingan dengan raja Binya U dari Pagu, dimana perbatasan antara Burma dan Mon telah dipastakan.
Bantuan yang didapat dari Cina pada tahun 1383 membuat Mingyi Swaswake mampu mengalihkan perhatian, sehingga rencana mencapai kekuasaan atas aliran Irrawadhy sampai ke laut. Tahun 1377 ia mendalangi pembunuhan Pyanchi yang pro Mon itu di toungoo. Oleh karena itu tahun 1385, ketika Razadarit menggantikan Binnya U naik tahta di Pegu dan seorang pamannya yang khianat dengan menulis surat menawarka penguasaan atas Pegu sebagai kerajaan bawahan  sebagai imbalan atas bantuannya dalam pemberontakan melawan sepupunya. Mingyi Swasawke melihat kesempatan emas untuk memusnahkan kemerdekaan Mon.
Pengganti Mingyi Swasawke, Minhkaung, memerintah dengan penuh semangat dari tahun 1401 sampai 1422, berusaha keras menggiring peperangan itu kearah tercapainya hasil yang gemilang, dan hampir berhasil. Tapi Razadarit seorang lawwan tangguh melemahkan pukulan kekuatan Burma dengan bantuan orang-orang Arakan dan menimbulkan ketidak serasian antara Ava dengan negeri-negeri Shan di utara. Tahun 1374 Mingyi Swasawke telah menobatkan seorang pamannya di Arakan. Tahun 1381 dia mengirim puteranya untuk memerintah di sana, tapi raja kecil ini diusir. Tahun 1404 sebagai hukuman atas serangan dari Arakan dari distrik Pakkokku, dia mengirimkan pasukan yang berhasil menduduki ibu kota,  sementara itu raja melarikan diri ke Bengal dan pureranya menyelamatka diri ke negeri Mon. Kali ini dia menempatkan anak tirinya di singgasana.  Tapi putera raja Arakan kembali dengan bantuan Mon dan membunuh raja boneka Burma itu. Burma menjawab dengan mengirimkan ekspedisi lain, dengan demikian terjadi perjuangan yang silih berganti antara kedua belah pihak yang berlangsung sampai tahun 1430, ketika raja yang bersembunyi itu, Narameikhla, kembali dengan bantuan Bangal mendapatkan kembali mahkotanya.
Hsinbyaskin Thihatu menggantikan ayahnya sebagai raja di Ava tahun 1422 dan sebagai suami dari seorang puteri Shan Maw beliau menyerang Shan tapi melalui tipu istrinya dikeroyok oleh Sawbwanya On-baung (Hsipaw) tahun 1426 dan terbunuh. Kemudian Sawbwa itu menobatkan pilihannya sendiri, Kalekyetaungnyo. Tapi beliau diusir bersama orang-orang Shan On-baung, oleh seoran pemimpin Burma, Mohnginthado, yang merampas mahkota untuk dirinya sendiri. Mohnginthado memerintah dari tahun 1527 sampai 440. Negeri dalam keadaan kacau. Pemimpin-pemimpin feodal tidak terikat, dan dibantu menentang raja oleh Sawbwa On-baung dan Yawnghwe. Ada saatnya beliau kehilangan kekuasaan atas wilayah yaukse yang vital itu. Serangan On-baung memaksanya meninggalkan Ava sementara waktu. Beliau benar-benar disibukkan oleh usaha-usaha menghindarkan dari kehancuran total. Tahun 1430 menjadi raja dalam persembunyian di Arakanyang kembali pulang dan memdirikan ibu kota baru di Mohaung beliau tidak mempunyai kekuasaan untuk mencampurinya
Di bawah putera Mohnyinthado, Minrekyawswa (1440-1443) dan Narapati (1443-1469) keluarga raja Ava muncul kembali secara besar-besaran . faktor utama di sini adalah serangan Cina pada orang-orang Shan Maw. Dengan lenyapnya dinasti Kublai Khan dalam tahun 1368 cina tidak berkuasa lagi atas jalan lintas Asia ke Barat. Dalam usahanya mencari tempat terbuka baru untuk perdagangan , Ming dengan melihat Irrawaddhy, diputuskan untuk menundukkan Shan Maw. Akibatnya suatu penyerangan panjang  berlangsung dari tahun 1438 sampai 1465. Alasan lain bagi pergerakan Cina menurut kenyataan bahwa pimpinan-pimpinan Shan Maw, Thongabwa (Ssu-jin-fa) yang berusaha menghidupkan kembali kekaisaran tua Nanchao. Tahun 1441 Wang Chi, presiden dewan perangdiangkat untuk memimin pasukan yang kuat yang berhasil mendesak Shan keluar dari Luch’uan. Beberapa diantara mereka lari ke Hsen-wi, tapi sebagian besar di bawah Thongabwa menyeberangi Irrawaddhy dan berlindung di Mohnyin. Ceritera serangan-serangan Wang Chi terdapat dalam Ming-shih, yang menyatakan kekaisaran akan memberikan daerah “Ssu-jin-fa” bagi siapa saja yang dapat menawannya. Sebuah prasasti di pagoda Tupayon, dibuat oleh Narapati di Sagaing, yang menceriterakan bagaimana Thonganbwa lari sebelum Wang Chi ke Mohnyin dan Kale, ditangkap oleh orang-orang Burma dan dipersembahkan kepada raja mereka pada hari pelantikannya.
Sementara Shan merasakan pengaruh Cina, raja Ava berusaha untuk mempertahankan beberapa kekuasaan yang serupa. Thihathura adalah raja terakhir dari raja-raja Ava yang dalam pemerintahannya memberontak dan sebagai negara yang tidak normal. Selama masa istirahat yang relatif tenang untuk sementara raja-raja Avamengadakan hubungan dengan pusat terkenal Budha Therawada di Kandhy, Ceylon.   
            Tahun 1527 serangan-serangan Mohnyin yang kronis memuncak dalam penangkapan dan perampasan Ava, kematian Shwenankyawshin, dan penggatinya oleh putera Sawbwa Thohanbwa seorang yang “sangat haus darah”, kata Harvey, yang merampok pagoda-pagoda, mambantai bhiksu-bhiksu dan membakar isi yang berharga perpustakaan biara. Rakja-raja Ava yang masih ada, dari tahun 1527 sampai peleburannnya tahun 1555 ke dalam kerajaan persatuan Burma yang dipimpin dan diciptakan oleh Bayinnaung, semuanya dari pemimpin-pemimpin Shan.
            Kekuatan yang menyatukan kembali Burma pertengahan abad XVI dan akhirnya penyerahan daerah Ava dari perusuh-perusuh Shan, di bina secara tidak banyak menarik perhatian di Toungoo, di lembah Sittang, jauh dari pusat-pusat kekacauan utama. Selama peperangan yang lama antar Ava dan Mon, negeri-negeri kecil bebas mempertahankan kehadirannya, dengan masing-masing pihak yang sewaktu-waktu ingin malenyapkannya. Tidak ada keluarga raja yang berkuasa lama. Tatapi titik balik terjadi di bawah Rja Mingkyinyo (1486-1531) ketika kekacauan di Ava memungkinkan raja yang mampu menggunakan kesempatan yang baik untuk meluaskan kekuasaannya. Hasilnya yang terpenting adalah penguasaan atas wilayah Kyaukse. Tahun 1527 ketika Sawbwa Mohnyin merampas Ava, begitu banyak pemimpin-pemimpin Burma, melarikan diri, mengabdi kepada beliau hingga beliau menjadi raja yang terkuat di Burma.
            Dengan tambahan ini pada kekuatannya beliau memusatkan perhatiannya ke selatan dan mulai membuat persiapan-persiapan untuk suatu serangan atas kerajaan Mon yang kaya dan maju di Pegu. Banyak Sawbwa Shan ke arah utara wilayahnya begitu tercekam dalam pertengkaran diantara mereka sendiri, sehingga beliau sendiri mempertaruhkan ketidakmampuan yang dibawa sejak lahir mereka untuk menggabungkan tindakan dan menentukan usaha coba-coba untuk mendapatkan kekayaan Pegu yang seperti dalam dongeng itu sebagai basis penaklukkan-penaklukkan selanjutnya. Tetapi tahun 1531, sementara tengah dalam persiapannya, beliau mangkat, dan diteruskan puteranya yang brilian. Tabinshwehti, melaksankan proyeknya yang masih dalam angan-angan itu.                        Setelah Wareru meninggal tahun 1296 kerajaan Mon mengalami masa kekacauan-kekacaun intern dan perselisihan-perselisihan yang beruntun yang berlangsung beberapa tahun, dan mungkin mengakibatkan kehancuran seandainya orang-orang Shan atau Siam campur tangan. Tetapi ketika mereka campur tangan pada serangan terakhir seorang raja yang kuat Binnya U (1353-1385) telah naik tahta; dan meskipun dipaksa menyerahkan suatu daerah beliau berusaha mempertahankan kerajaannya. Serangan datang dari kedua Chiengmai dan Ayut’ia. Pasukan Chiengmai membakar Taikkola, Sittang dan Donwun, tetapi didesak keluar tahun 1356. Tahun 1363 pasukan Siam memaksa Binnyu U meninggalkan Martaban dan menekankan serangan-serangan atas propinsi Moulmein dan Tanasserim. Binnyu U sementara memindahkan ibu kotanya ke Donwun, dan akhirnya tahun 1369 menetap di Pegu, yang tetap menjadi ibu kota kerajaan Mon sampai Tabinshwehti menghapuskan kemerdekaannya tahun 1539. Tahun 1362 beliau memperbaiki Pagoda Shwe Dagon dan menaikkan tingginya 66 kaki. Tempat yang paling terkenal bagi peziarah berdiri persis di luar desa nelayan kecil Dagon, menurut nama Pagoda itu, dan berabad-abad kemudian dinamakan kembali denga Rangoon oleh Alaungpaya (1755).
            Pemerintahan Minnya U suatu pemerintahan yang penuh keributan, penuh dengan perang dan bahaya kelaparan. Orang-orang Siam yang menguasai Martaban dan Taasserim terus-menerus mengancamnya. Putera tertuanya Razadarit (1385-1423) harus berhadapan tidak saja denga serangan dari Chiangmai, kmapengp’et dan Ayut’ia, tetapi juga seperti telah kita ketahui, dengan serangan-serangan beruntun lama dari Ava. Dalam menghadapi mereka semua beliau mempertahankan kerajaannya dengan sukses. Hanya pendudukan Ayut’ia dengan usaha-usahanya menaklukkan Kamboja, Sukhot’ai dan Chiengmai menyelamatkan negeri Mon daripada menjadi pokok pertikaian antara Ava dan Siam. Razadarit bukan saja seorang negarawan yang memainkan peranan dengan penuh keterampilan, tetapi juga sebuah nama dalam tradisi Burma dan Mon sebagai seorang Administrator. Orang-orang Burma mengatakan beliau telah memecah “Tiga Negeri Talaing”, Pegu, Myaungmya, dan Bassein masing-masing menjadi 32 propinsi. Mungkin daerah yang dimaksud yang oleh penguasa Inggris di sebut “lingkaran”, di bawah Myothugyi atau Taigthugyi.
            Dengan berhentinya perang di Burma sebelum matinya Razadarit kerajaan Mon mengalami kurun waktu lama dalam kedamaian dan kemakmuran. Ibu kotanya menjadi pusat perdagangan besar dan tempat tinggal pedagang-pedaganng asing. Tiga buah pelabuhannya yang sibuk, Martaban, di dapat dari Siam; Syriam di bawah Dagon; dan Bassein, di Delta, melakukan perdagangan teratur dengan India, Malaka dan Kepulaun Melayu. Tahun 1435 Nicolo di Conti dari Venesia, orang Eropa pertama tercatat mengunjungi Burma, tinggal 4 bulan di Pegu, yang kemudian diperintah oleh Bynnyaran (1426-1446).
            Tiba-tiba terjadi ledakan pada penggantinya, Takayutpi (1526-1539) ketika Tabishwehtijatuh di daerah delta tahun 1535. Dalam kurun waktu yang sangat singkat pemimpin kerajaan Burma menurunkan kerajaan Mon menjadi kerajaan taklukkan, merebut Pegu dengan tipu muslihat, dan mengakhiri garis kekuasaan Wareru.                                   



2.4 Burma Di Bawah Dinasti Toungoo Yang Telah Dipulihkan
            Ketika kerajaan persatuan Burma terpisah tahun 1599 kondisi kerajaan tua Mon di Pegu benar-benar telah dalam keadaan celaka. Bukan saja ibu kotanya telah hancur, tetapi juga seluruh negeri berantakan oleh serdadu-serdadu penyerang dari Arakan, Toungo, dan Siam. Syriam ada di tangan orang-orang Arakan, dan kesana datang Philip de Britoy Nicote, seorang Portugis yang bekerja pada Raja Min Razagyi, bertugas di kantor cukai dan mengawasi orang-orang Portugis yang tinggal di sana di bawah undang-undang mereka sendiri. Bersamanya dua orang Missionaris, Pimenta dan Boves, keduanya telah menulis tentang pengalaman mereka yang terjemahannya diterbitkan oleh Samuel Purchanse dalam Polgrime-nya Boves menulis: saya juga kesana dengan Philip de Brito, dan dalam 15 hari telah tiba di Syriam, pelabuhan terbesar di Pegu. Suatu pemandangan yang sangat menyedihkan terlihat pada tiap-tiap sungai tertentu dengan pohon-pohon berbuah lebat tak terhingga, sekarang ditutup oleh reruntuhan candi-candi berkilau keemasan dan bangunan-bangunan megah; jalan-jalan dan ladang-ladang penuh dengan tengkorak dan tulang-tulang penjahat-penjahat Pegu, yang terbunuh atau mati kelaparan atau dicampakkan ke sungai, sejumlah itu hingga banyak bangkai menghalangi jalan-jalan dan pelayaran setiap kapal.”
            De Brito menyusun rencana yang berambisi mendapatkan kekuatan atas Syriam dan meletakkannya di bawah wewenang  Wakil Raja di Goa. Bersama dengan seorang Opsir Portugis, Salvador Ribeyro, ia membangu sebuah benteng dan mengusir Gubernur Arakan. Kemudian, dengan membiarkan Ribeyro menguasai tempat itu, ia pergi ke Goa mencari pengakuan resmi dan bantuan. Ia menerima puteri Wakil Raja sebagai isterinya dan kembali sebagai kapten jenderal dengan 6 kapal memuat tentara bantuan dan perbekalan. Selama kepergiannya Salvador Ribeyro telah mengalahkan serangan berulang-ulang dari orang-orang Arakan dan serangan dari orang-oang Burma dan telah menanamkan hubungan baik sedemikian rupa dengan pemimpin-pemimpin Mon sambil menawarkan untuk menerima de Brito sebagai raja. Yang terakhir waktu tiba menerima tawaran itu atas nama kekuasaannya, dan kemudian Ribeyro mengundurkan diri dan segera meninggalkan negeri itu. Kebijaksanaannya mengenai situasi yang sulit itu selama pemimpinnya tidak ada d tempat memberi kesan bahwa seandainya ia tetap berkuasa kemajuan akan tentu didapat kesempatan yang jauh lebih baik dari pada di bawah de Brito pemimpin yang mudah tergerak oleh gerakan hatinya dan yang terlalu ambisius itu. Tetapi pada mulanya terus berhasil. Sebuah armada sampan yang  besar di bawah Wakil Raja telah dihancurkan dan pengeran itu sendiri yang tertangkap dan akan dibebasan dengan uang tebusan. Sebuah serangan berikut, Arakan bersekutu dengan Min dari Dinasti Toungoo telah dikalahkan dan tahun 1604 kedua raja itu membuat perjanjian dengan de Brito.
            Tahun 1628 Anaukpetlun telah rampung memindahkan istananya dari Ava ke Pegu, dan mulai merencanakan atas Ayut’ia. Tetapi pada tahun berikutnya, beliau terbunuh dan mahkota direbut oalh salah seorang saudaranya, Thalun, yang menjalankan pembalikan sepenuhnya dari politknya. Proyek Siam ditinggalkan dan tahun 1635 ibu kotanya telah dipindahkan dari Pegu kembali ke Ava. Segera setelah kenaikkannya suatu pemberontakan besar orang-orang Mon ke Siam. Cita-cita Kerajaan Persatuan Mon dan Burma yang diharapkan Tabinshwehti dan Bayinnaung tak lama kemudian terwujud. Burma memperlakukan Mon sebagai peduduk pribumi dan karena Pegu tak berguna sebagai pelabuhan karena berlumur, pilihan tinggal antara Syriam dan Ava. Dari segi ekonomi Syriam akan menjadi ibu kota yang lebih baik, dan dengan pindah ke sana pemerintah akan dapat mempertahankan hubungan dengan dunia luar. Tetapi tak ada raja setelah Anaukpetlum yang tertarik akan nilai hubungan seberang lautan, dan Burma Pedalaman adalah negeri Burma yang penting. Jadi dinasti itu mneyerah pada tradisionalisme dan isolasisme, dan kenaikan sikap tak suka menyesuaikan diri dan kebencian pada orang asing membuat perdagangan oarng-oarng barat dengan Burma pada setiap bentuk yang memuaskan dan bahkan hubungan diplomatik, menjadi tidak mungkin.
            Selama pemerintahan Thalun dalam tahun 1635 Belanda telah mendirikan kator dagang pertama di Burma. Di Syriamlah, kecuali agen-agennya, Dirck Steur dan Weirt Jansen Popta, harus mengikuti istana sampai ke Ava, dimana dalam bulan September tahun itu raja menerima merka dan memperlakukan mereka sebagai “massa yang bercampur aduk dalam menari, melompat dan berkelahi.”Perdagangannya di Burma diatur dari Pulicat, mereka datang dengan tujuan untuk menyikut saudagar-saudagar Portugis dan India yang menjalankan perdagangan laur negeri, negeri itu. Saudagar-saudagar dan kapal-kapal Mon melaksanakan bagian kecil perdagangan ke bagian-bagian luar negeri, dan diantara catatan pelayaran pertama Lancaster atas nama Perusahaan India Timur ada sedikit daftar kata “ bahasa Pegu” yang nampaknya telah di pungut di Aceh. Tetapi hampir tak ada orang Burma yang melakukan perdagangan luar negeri, yang seluruhnya berada ditngan orang asing. Dan tak ad tanda-tanda kegiatan lanjutan orang-orang Mon. Ketika Belanda menjalankan metode yang telah dicobakan untuk mendapatkan monopoli. Thalun melindungi saudagar-saudagar India terhadap persaingan yang tidak jujur dan mengirim surat pada Gubernur Pulicat, memberitahukan padanya agar tidak ikut dalam masalah-masalah permusuhan melawan Portugis, yang keluhnya sedang di cegah untuk melakukan perdagangan yang biasa dengan Burma. Belanda begitu kecewa dengan perdagangan hinggga tahun 1645 mereka secara serius memikirkan untuk menutup kantor-kantor dagang mereka, dan hanya meneruskannya untuk menghindarkan Inggris yang akan melangkah maju.
            Pindale seorang raja yang lemah, menghadapi situasi yang tidak ada sebelumnya yang muncul dari perang Cina ketika orang-orang Manchu mengusir orang-orang Ming. Jung-li orang terakhir dari dinasti Ming, telah lari ke Yunan tahun 1644 dimana untuk beberapa lama ia menentang orang-orang Manchu. Kebutuhannya yang banyak akan tenaga manusia dan perbekalan dari Hsenwi da Maingmaw menyebabakan Pindale mengirim pasukan untuk membantu mereka, dan dengan beberapa keberhasilan, sejak tahun 1650 agen-agen Inggris di Bruma telah melaporkan ke Madras bahwa orang-orang Burma telah mengalahkan “tetangga-tetangga mereka yang menyerang dan negeri itu seperti akan diduduki dan dalam keadaan damai.” Tahun 1658 Jung-li telah diusir dari Yunan, dan lari melalui jalan Burma Lama ke Bhamo dengan 700 orang pengikut. Mereka dilucuti dan diperkenankan di Sagaing. Ini menyebabkan serangan-serangan ganas oleh gerombolan-gerombolan yang dibantu orang-orang Ming yang berusaha menyelamatkan pimpinan mereka. Sebuah pasukan Burma telah dikalahkan di Wtwin, dan untuk selama 3 tahun Burma Pedalaman telah bebas dari gangguan sampai ke tembok Ava dan jauh ke selatan sampai ke Pegu. Tahun 1661 agen-agen Belanda di ibu kota itu melaporkan bahwa ada kecelakaan besar sehingga semua perdagangan berhenti.
            Sekarang Burma memasuki kurun waktu panjang dalam keadaan astagnsi. Pye mangkat tahun 1672 dan puteranya Narawara yang menggantikannya mangkat dalam setahun. Karena itu sejumlah orang-orang berpengaruh di istana menduduki istana dan mengangkat putera termuda Pangeran dari Prome. Oposisi dari keluarga raja ditindas dengan pembunuhan rahasia secara besar-besaran. Minrekyawdin atau Sri Pawara Maha Dhamma Raja, memerintah selama 26 tahun (1673-1698). Beliau sedikit lebih dari seorang yang mempunyai kekuasaan nominal, kekuasaan sebenarnya ada di tangan sejumlah kecil menteri-menteri yang berkelompok. Baik keamanan ke luar maupun ke dalam dipertahankan, tetapi tak ada pimpinan dan konsekuensinya tak ada seorang tokoh. Daerah-daerah terpencil lepas sebab waktu dimasukkan dalam kekuasaan pusat seperti pendudukan lembah Kabaw oleh Raja Manipur yang terjadi di sana tak ada orang yang mampu mengusir orang-orang yang tak dapat dipercaya.
            Percobaan permulaan ini tidak segera tampak hasilnya, mungkin karena para Direktur di induk negerinya memusatkan pikiran terhadap setiap proyek untuk menghidupakn kembali kantor dagang Inggris di sana. Tetapi tahun 1692, Penguasa Burma di Martaban menangkap sebuah perahu laya kecil milik penduduk Amerika di Madras dan memenjarakan anak buahnya; karena mangangkut barang-barang yang belum dibayar milik Nathaneil higgison Gubernur Fort St. George, ia memutuskan untuk mengirim utusan ke Ava merundingkan pembebasan pedagang yang tertangkap itu dan miliknya. Higgison mengira bahwa bila ia dapat menjanjikan pembukaan kembali perdagangan resmi antara Perusahaan dan Burma semuanya dapat dilayarkan secara aman. Tetapi ia tidak punya kewenangan apalagi untuk mengirim seorang pegawai Perusahaan yang dapat dipercaya, sedikit banyak membuat setiap tawaran yang akan dapat melibatkan Perusahaan secara resmi. Agennya, Edward Fleetwood, yang telah pergi ke Ava tahun 1695, adlah seorang pedagang perseorangan di Madras, yang biasanya dibayar secara pribadi oleh Higginson. Tetapi ia berusaha keras untuk meluluskan misinya sebagai misi resmi dan memerintahkan Fleetwood untuk meminta “tempat perbaikan dan pembangunan kapal secara bebas” di Syriam. Sebagaimna diharapkan menteri-menteri Burma memberitahukan Fleetwood dengan terang-terangan bahwa jika Perusahaan dapat membuka kembali kantor dagang di Syriam semua permintaannya dapat dipenuh; akan tetapi apabila tidak ada gunanya berunding. 
            Minrekyawdin mangkat tahun 1698 diikuti oleh tiga orang raja terakhir dinasti itu: Sane (1698-1714), Taninganwe (1714-1733), dan Mahadammayaza Dipati (1733-1752). Seperti beliau mereka tidak penting dan jarang, bila pernah, meningglakna ibu kota dan secara tawanan-tawanan istana mereka itu. Bukan kenyataan di bawah mereka Burma menjalankan politik perdamaian yang mencerminkan ketidakpercayaan diri pada pemerintahan mereka, karena didikte oleh orang-orang lemah belaka. Betapa banyak kekuasaan yang dijadikan oleh istana Ava pada pemimpin-pemimpin feodal yang memerintah berbagai bagian luar negeri itu, sukar dikatakan. Kekuasaannya atas Burma pesisir mungkin tak meluas lebih dari jalan raya Irrawaddhy, ibu kota Pegu dan Pelabuhan Syriam.
            Keruntuhan Monarki menyebabkan perpecahan kerajaan. Mulai yang tahun 1740 ketika sebuah koloni Gwe Shan di Okpo, dekat Madaya di Burma Pedalaman, menentang pajak yang naik sampai diluar batas kewajiban yang diminta atas pohon pinang mereka, bangkit memberontak di bawah seorang pemimpin bernama Gonna-sein. Mereka bersatu dengan komplotan orang-orang Mon yang dibuang dan mengusir Burma keluar daerah mereka. Bersamaan sekali Burma Pesisir juga bangkit memberontak. Gubernur Burma di propinsi Pegu terpengaruh untuk menumbangkan pemerintahan dan berjalan menuju Syriam. Tetapi pasukannya memberontak dan membunuhnya, dan ketika raja mengirim pasukan unutk mengembalikan keamanan orang-orang Mon secara massal bangkit dan mengalahkannya, merebut Syriam dan Martaban dan membantai semua orang Burma yang dapat ditangkapnya. Mereka kemudian maju mengangkat raja dari kalangan mereka sendiri, Smim Htaw Buddhaketi. Di Pegu. Beliau adalah putera Gubernur Pagan, yang gagal merebut Ava tahun 1714 dan melarikan diri ke daerah pegunungan sebelah timur Pegu. Smim Htaw diminta naik tahta. Ia ternyata seorang pemimpin yang tidak efektif, tetapi demikian itu adalah kelemahan Ava hingga pasukannya cepat menduduki Burma Pesisir sampai Prome dan toungoo dan mulai menyerbu jauh sampai Irrawaddhy sampai mereka mengancam ibu kotanya sendiri.
            Smim Htaw Buddhaketi, terkenal di kalangan rakyat, yang menghargai kepuutsannya yang baik hati itu; tetapi menteri-mentreinya menjadi ragu akan ketidakmampuannya sebagai pemimpin. Masalahnya jadi kritis tahun 1747 ketika Mon menyerang Irrawaddhy terus ke Ava telah berbalik dengan kekalahan besar. Karena itu raja meninggalkan Pegu dan tinggal di Sittaung, dimana setelah beberapa musyawarah beliau mengumumkan maksudnya untuk mengudurkan diri dari jabatannya yang tak menyenangkan itu.          Peperangan itu seluruhnya dilakukan dengan sangat gampang dan Mon keliru berpikir bahwa dalam mengambil ibu kota mereka harus menaklukkan negeri itu.kerena itu sebagai ganti memusatkan pikiran pada penghancuran semua pusat perlawanan yang mungkin, wakil raja, yang diikuti Talaban dalam expedisi itu, kembali ke Pegu dengan pasukan pokoknya, meninggalkan kepala stafnya untuk memastikan persekutuan kepala-kepala suku kerajaan Ava dengan pasukan yang tidak mencukupi di bawah kewengannya. Sebelum berangkat pulang, pangeran telah mendengar berita-berita keributan bahwa detasmen Mon telah dikirim untuk menerima penyerahan kota Moksobomyo “kota pimpinan pemburu”, kira-kira 60 ml di utara Ava, telah dipecah belah oleh penduduk. Tetapi beliau salah perkiraan bahwa keributan telah terjadi dengan Siam, yang beru-baru ini telah bertukar utusan dengan raja Ava yang telah diturunkan, beliau cenderung untuk memperlakukan peristiwa itu sebagai sifat segi tiga dan menajuhkan perpisahannya dengan Talaban untuk membuat tempat percontohan. Beliau sedikit menyadari bahwa peristiwa Moksobomyo merupakan awal dari kebangkitan Nasional Burma yang telah membersihkan orang-orang Mon dari Burma Pedalaman dan menghancurkan kerajaannya sama sekali.     


2.5 Awal Mula Dinasti Konbaung Di Burma (1752 – 1782)
                Ketika beliau kembali ke Pegu, Juva Raja meninggalkan Talaban dengan pasukan yang tidak mencukupi untuk berperang melawan pemberontak secara besar-besaran. Ini persis dengan perlawanan yang berhasil oleh pimpinan pemberontak Boksobomyo ciptakan dalam waktu singkat yang mengejutkan itu. Dengan menyebut dirinya Aungrazeya, “Yang Berjaya”, dan “diilhami oleh Nat yang baik mengendalikan agama”, seperti dikatakan Mahayazawin, beliau menjadikan dirinya pemimpin gerakan nasional. Bulan Mei tahun 1752 beliau mengalahkan serangan atas bentengnya yang dipimpin oleh Talaban yang tertawan. Bulan berikut beliau melanjutkan serangan dan menyerbu sebuah kubu pertahanan Mon yang dimaksudkan untuk memotong suplainya. Garnisunnya meninggalkannya dengan kepanikan, sambil meninggalkan semua perlengkapannya. Sekarang beliau seorang minlaung atau penuntut tahta, bergaya seperti Alaungpaya, atau “benih Budha”, dan lengkap dengan semua daftar usul-usul keturunan yang menghubungkan dirinyadengan Mohyintadho, yang telah memerintah di Ava tahun 1427-1440. Kemana beliau pergi beliau memastikan sumpah kesetiaannya kepada pemerintah. Moksobomyo, “kota pimpinan pemburu”, menjadi Shwebo, “kota tangga emas”, dan disana beliau mulai mendirikan sebuah istana dengan gaya tradisional yang baik.
            Tetapi orang Mon tidak mudah di depak keluar Burma Udik, dan mereka bergabung dengan Gwe Shan dari Madaya-Okpo. Ini adalah perang kubu pertahanan dan dalam berlangsungnya pasukan yang patriot itu mengalami banyak kemungkinan kalah. Sebelum sampai bulan Desember 1753 Alaungpaya telah mampu mengurung Ava, tetapi pada saat itu beliau telah membangun armadaperahu yang luar biasa, terutama dari kapal-kapal yang direbut dari musuh. Mon, setelah gagl merebut kubu pertahanan pertamanya, putus asa. Tak ada tanda-tanda bantuan dari Pegu, dan mereka mengkhawatirkan bahwa orang-orang Burma dan Shan di kota itu akan bekerja sama dengan pasukan yang mengurung di luar. Jadi mereka meninggalkannya pada waktu malam dengan sangat rahasia dan menyelamatkan diri menentang arus situasi, sebelum Burma menyadari apa yang terjadi.
            Alaungpaya tidak dalam posisi untuk mengejar orang Mon mengundurkan diri atau melancarkan serangan ke selatan. Petama beliau mencari keyakinan tentang kesetiaan Swabwa Shandi utara. Sementara melaksanakan tugas ini Raja Binnya Dala di Pegu melancarkan serangan besar-besaran atas daerah Ava. Bila dilaksanakan lebih cepat, sementara Mon menguasai ibu kota, mungkin mudah membuat p[erimbangan terhadap Alaungpaya. Tetapi Juva Raja, kepala staf pasukan Mon, adalah seorang pemimpin yang lemah; dan meskipun beliau mengalahkan pasukan Burma di Talokmoyo dan mengacaukan negeri sampai sejauh Kyaukmyaung, dekat ke Shwebo, sebuah serangan balasan dilancarkan Alaungpaya dari Shwebo, dan sekelompok pasukan yang ganas pada bagian pasukan yang sedang berperang itu, di Ava menyebabkan kekalahan sedemikian rupa hingga bulan Mei tahun 1754 semua pasukan penyerang muali cepat-cepat munduryang tidak berhenti sebelum tiba di Prome. Sememtara itu ketidak puasan di Kerajaan Mon telah memuncak dalam suatu komplotan yang bertujuan mengembalikan Mahadammayaza Dipati yang tertawan itu, yang ada di Pegu. Ketika ini dilaksanakan, dan raja yang telah turun tahta itu, tiga dari putranya dan banyak yang lain yang tersangkut di bunuh, delta Burma bangkit memberontak dan meyerbu kota Pegu, yang ingin mereka kuasai, meskipun demikian di pertahankan oleh pasukan Mon yang mundur dari Ava.
            Tetapi si penyerang tidak ditekan dengan keras, dan awal 1755 Alaungpaya, setelah mengumpulkan pasukan besar untuk menaklukkan kerajaan Pegu, memindahkan orang-orang Burma yang mempertahankan itu tanpa kesulitan. Tetapi, Mon telah membangun benteng tanah yang kuat persis di selatan kota dan disana banyak terjadi peperangan hebat sebelum ini akhirnya ditindas. Keberhasilan ini mampu membuatnya untuk menuntut kesetiaan Burma Tengah, dan beliau tinggal beberapa minggu di Prome melakukan tugas mendamaikan. Kemudian beliau pergi kearah selatan menjumpai Mon di Lunhse di distrik Henzada. Kemenangan yang menentukan yang beliau capai mengilhaminya untuk menamakan lagi tempat itu Myanaung, “kemenangan cepat”. Disini pada tengah-tengah perjalanan dan dengan senag beliau menerima penyerahan Toungoo, Henzada,Myanungmya, Bassein dan bahkan distrik Arakan, Sandoway. Akhirnya dengan terus terdorong melalui Danubya beliau mengusir Mon dari Dagon pada awal bulan Meidan merayakan penutupan perangnya dengan perayaan di Pagoda Shwe Dagon. Beliau merencanakan membuat tempat pelabuhan dutama kerajaannya dan mulai mengerjakan pendirian ibu kota baru, yang secara optimis beliau namakan Rangoon, “ Akhir Pertikaian”.
             

MAKALAH SEJARAH TIMOR LESTE (sebelum awal kedatangan bangsa Portugis)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Timor Leste atau Timor Timur (sebelum merdeka) yang bernama resmi Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa’e) adalah sebuah negara di Asia Tenggara. Terletak di sebelah utara Australia dan di bagian timur pulau Timor. Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan enklave Oecussi-Ambeno di Timor Barat. Luas negara Timor Leste adalah sekitar 15,410 km2 (5,400 sq mi).
Timor Leste pernah dijajah Portugis pada abad ke 16 dan dikenal sebagai Timor Portugis sampai Portugis melepas negara ini. Pada tahun 1975, Timor Leste memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi Indonesia menjadikan wilayah Timor Leste ini sebagai provinsi ke-27 dengan nama Timor Timur. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia. Timor Timur menjadi negara berdaulat pertama pada abad ke-21 yaitu pada tanggal 20 Mei 2002. Ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis "Timor Leste" sebagai nama resmi negara mereka. Timor Leste menjadi salah satu dari dua negara yang didominasi oleh umat Katolik Roma di Asia Timur setelah Filipina.
2.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah latar belakang terjadinya negara Timur Leste?
2.      Kerajaan –Kerajaan apa saja yang ada di Timur Leste?
3.      Siapa saja raja – raja yang pernah memerintah di kerajaan Amanatum?
4.      Bagaimanakah pembagian sistem administratif yang ada di negara Timur Leste?

2.3. Tujuan
1.      Untuk mengetahui latarbekang terbentuknya negara Timur Leste
2.      Untuk mengetahui kerajaan – kerajaan apa saja yang ada di negara Timur Leste
3.      Untuk mengetahui silsilah raja –raja yang pernah memerintah Kerajaan Amanatum
4.      Untuk mengetahui pembagian sistem administratif di  negara Timur Leste
2.4. Manfaat
1.      Untuk meningkatkan hasil belajar Mahasiswa secara maksimal khususnya pada Mata Kuliah Sejarah Asia Tenggara I.
2.      Untuk memberikan pengetahuan sekaligus agar menjadi pelajaran yang bisa di terapkan dalam kehidupan sehari – hari.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.  Sejarah Timur Leste
Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa'e), yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor. Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan enklave Oecussi-Ambeno di Timor Barat. Timor Leste dulu adalah salah satu provinsi di Indonesia, Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis "Timor Leste" sebagai nama resmi negara mereka.
abad ke-16 : Kedatangan kaum Portugis
1902    : Pembagian Timor antara kaum Portugis dan Belanda secara definitive
1975    : Timor Portugis ditelantarkan Portugal yang dilanda Revolusi Anyelir
1976    : Bergabung dengan Indonesia, menjadi Provinsi Timor Timur
1976 - 1980: Perang saudara; konon sekitar 100.000 - 250.000 orang tewas
1991: Insiden Santa Cruz
1999: Referendum pemisahan diri Timor Timur diizinkan presiden B. J. Habibie
1999: Kerusuhan besar-besaran antara pro- dan anti-kemerdekaan dan pengungsian warga Timor Timur
2002: Terbentuknya negara Timor Leste
2006: Sepertiga mantan tentara nasional Timor Leste memberontak menuntut keadilan; pecah konflik antara pihak polisi yang mendukung pemerintah dengan pihak militer.
Ø  Geografi Timor Leste

Timor Leste berlokasi di Asia Tenggara, pulau Timor merupakan bagian dari wilayah Maritim Asia Tenggara, dan merupakan kawasan paling timur di Kepulauan Sunda Kecil. Letak geografis Timor Leste adalah: Di sebelah utara terdapat Selat Ombai, Selat Wetar, dan Laut Banda. Di sebelah selatan terdapat Laut Timor dan Australia. Di sebelah barat terdapat Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan bagian dari Indonesia. Di sebelah timur terdapat Taman Nasional Nino Konis Santana yang berupa hutan tropis kering. Disana terdapat beberapa spesies tumbuhan dan hewan unik.
Kebanyakan wilayah Timor Leste berupa pegunungan dan gunung tertinggi di Timor Leste adalah Gunung Tatamailau yang dikenal sebagai Gunung Ramelau dengan ketinggian 2.963 meter. Timor Leste beriklim tropis dan umumnya panas dan lembab. Terdapat dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Ibukotanya, kota terbesar, dan pelabuhan utama adalah Dulu, dan kota terbesar kedua adalah Baucau. Letak astronomis Timor Leste adalah antara 8o LS-10o LS dan 124o BT-128o BT.
2.2. Kerajaan-Kerajaan Yang Ada di Timor Leste
2.2.1 Kerajaan Amanatun
Kerajaan Amanatun (Onam) adalah salah satu peradaban tertua yang ada di Timor Tengah Selatan. Pada masa pendudukan kolonial Belanda, Timor Tengah Selatan dikenal dengan nama Zuid Midden Timor hingga pada akhirnya diganti dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi provinsi setelah negara Republik Indonesia resmi berdiri. Selain Amanatun, dua kerajaan besar di Timor adalah Kerajaan Belu dan Kerajaan Mollo.
Nama “Amanatun” berasal dari kata “Ama” dan “Mnatu”, yang berarti “Bapak” dan “Emas”. Sedangkan penyebutannya sebagai nama kerajaan disebabkan karena Raja Tnai Pah Banunaek senang mengenakan busana dan perhiasan dari emas. Kerajaan yang beribukota di Nunkolo ini merupakan kerajaan yang terletak paling selatan di wilayah Timor Tengah Selatan. Mulanya, Kerajaan Amanatun hanya meliputi wilayah-wilayah kecil, termasuk Noebone dan Noebanu, atau yang dulu disebut juga sebagai wilayah Anas. Anas merupakan sebuah wilayah di bawah kuasa Dinasti Nesnay. Berdasarkan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah Hindia Belanda) No. 2 Tahun 1913, Anas bergabung dengan wilayah Timor Tengah Selatan dan menjadi distrik dari Kerajaan Amanatun.
Riwayat  Kepulauan Timor, yang sudah tersurat sejak tahun 1350, serta menggambarkan hubungan para penguasa Timor dengan bangsa-bangsa Eropa, yakni Portugis dan Belanda. Diceritakan, pada 11 November 1749, Belanda dan Portugis terlibat perebutan tanah jajahan di Timor, konflik ini dikenal sebagai Perang Penfui. Kerajaan Amantun berdiri di belakang Portugis karena tidak setuju dengan rencana Belanda yang ingin membagi wilayah Timor meski pada akhirnya Kerajaan Amanatun jatuh juga ke tangan Belanda yang berhasil mengalahkan Portugis.
Upaya penyatuan beberapa kerajaan yang ada di wilayah Timur Tengah Selatan dalam suatu wilayah administratif mulai tampak sejak dekade kedua abad ke-20. Pada 1920, Kota Soe ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor atas kesepakatan bersama dari ketiga raja yang berkuasa di sana, yaitu Raja Lay Akun Oematan (Kerajaan Molo), Raja Pae Nope (Kerajaan Amanuban), dan Raja Kolo Banunaek (Kerajaan Amanatun).
Meski selalu berada di bawah penindasan kolonial, beberapa kali Kerajaan Amanatun melakukan perlawanan terhadap penjajah. Raja Muti Banunaek II yang memerintah pada kurun 1900-1915 pernah diasingkan ke Ende, Flores, pada 1915, karena tidak mau takluk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sang raja yang pemberani ini tinggal di tanah pembuangan hingga akhir hayatnya, wafat pada 1918. Setelah Indonesia merdeka, Kerajaan Amanatun bersama Kerajaan Molo dan Kerajaan Amanuban membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan ibu kota Soe, yang sekarang termasuk ke dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Amanatun adalah sebagai berikut: Tnai Pah Banunaek, Tsu Pah Banunaek, Nopu Banunaek, Bnao Banunaek I, Nifu Banunaek, Kili Banunaek, Bnao Banunaek II, Nono Luan Banunaek, Bnao Banunaek III, Bnao Banunaek IV, Bab’i Banunaek, Bnao Banunaek V (Bnao Nunkolo), Kusat Muti (Muti Banunaek I), Loit Banunaek, Muti Banunaek II, Kusa Banunaek, Kolo Banunaek (Abraham Zacharias Banunaek), serta Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek). Profil dan riwayat singkat masing-masing raja Amanatun ini disajikan dengan cukup gamblang oleh penulis.
Sistem pemerintahan Kerajaan Amanatun sering berganti-ganti seiring perubahan zaman dan kondisi politik. Kerajaan Amanatun seringkali terpaksa mengikuti kebijakan pemerintah kolonial, dari Portugis, Belanda, hingga pada zaman pendudukan Jepang. Ketika Negara Republik Indonesia terbentuk pun Kerajaan Amanatun kemudian melebur dan menjadi bagian dari negara kesatuan tersebut, kendati tidak lagi berupa kerajaan yang semi-otonom. Setelah menjadi bagian NKRI, pusat pemerintahan Amanatun dipindahkan ke Kota Oinlasi dan hingga kini menjadi ibukota Kecamatan Amanatun Selatan. Bentuk pemerintahannya pun berubah menjadi daerah swapraja. Raja Laka Banunaek menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun pertama. Jika di tengah-tengah pemerintahan sang raja meninggal dunia, maka sebagai penggatinya diangkatlah seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan.
Pemimpin Kerajaan Amanatun bersama dengan raja-raja lainnya yang tergabung di dalam Dewan Raja-Raja ikut berperan penting dalam pembentukan Provinsi NTT di mana sebelumnya wilayah ini termasuk ke dalam Provinsi Sunda Kecil. Pemerintah Indonesia sendiri yang kala itu masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) telah menguatkan berdirinya NTT dengan beberapa perkembangan kebijakan. Terakhir, melalui UU No. 69 Tahun 1958, terbentuklah daerah Swatantra Tingkat II di Nusa Tenggara Timur dengan 12 Kabupaten.
Sementara itu, tentang kelompok suku yang paling dominan dalam struktur sosial masyarakat Amanatun, buku ini menyebutkan nama Suku Missa, selain suku-suku lain yang lebih kecil jumlahnya seperti Suku Tkesnai, Suku Amafnya, Suku Nai Usu, dan lain-lainnya. Populasi penduduk Kerajaan Amanatun relatif tinggi. Tahun 1870, misalnya, tercatat jumlah penduduk Kerajaan Amanatun sudah melebihi angka 12.000 jiwa.
Kepercayaan masyarakat lokal. Sebelum masuknya agama Nasrani yang dibawa Portugis, penduduk Timor, termasuk warga Amanatun, masih menganut suatu kepercayaan atas Dewa Langit (Uis Neno) yang dinggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Sejumlah ritual upacara yang ditujukan kepada Uis Neno dimaksudkan untuk meminta hujan, sinar matahari, mendapatkan keturunan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Orang Timor juga percaya kepada Dewa Bumi alias Uis Afu, juga sering disebut sebagai Dewi Uis Neo. Upacara yang ditujukan kepada Dewi Uis Neo adalah meminta berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami. Di samping itu, masyarakat Amanatun juga mempercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti di hutan, mata air, sungai, dan pohon yang dianggap angker. Ritual-ritual untuk menyucikan makhluk-makhluk gaib itu sering dilakukan dengan dipimpin oleh pejabat desa sekaligus pemuka adat. Selain itu, roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai pengaruh yang luas kepada jalan hidup manusia, juga disucikan oleh warga adat Amanatun. Berbagai malapetaka yang datang dinilai sebagai tindakan atau peringatan dari arwah leluhur terhadap mereka yang telah lalai dan berbuat jahat. Meskipun agama Kristen yang dibawa Portugis pada akhirnya secara formal telah diterima dan dipeluk oleh sebagian besar dari penduduk Timor, namun sebagian besar dari mereka masih percaya akan adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, roh nenek moyang, dan percaya akan ilmu sihir.
Ø   Silsilah Raja-Raja
Berikut nama raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Amanatun:
1. Raja Tnai Pah Banunaek
2. Raja Tsu Pah Banunaek
3. Raja Nopu Banunaek
4. Raja Bnao Banunaek I
5. Raja Nifu Banunaek
6. Raja Kili Banunaek
7. Raja Bnao Banunaek II
8. Raja Nono Luan Banunaek
9. Raja Bnao Banunaek III
10. Raja Bnao Banunaek IV
11. Raja Bab‘i Banunaek
12. Raja Bnao Banunaek V atau Raja Bnao Nunkolo (1766)
13. Raja Kusat Muti atau Raja Muti Banunaek I (1832)
14. Raja Loit Banunaek (1899)
15. Raja Muti Banunaek II (1900-1915)
16. Raja Kusa Banunaek (1916-1919)
17. Raja Kolo Banunaek atau Raja Abraham Zacharias Banunaek (1920-1946)
18. Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek atau Raja Laka Banunaek (1946-1965) .
Sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Amanatun tidaklah kekal, sering berganti-ganti seiring perubahan zaman dan kondisi perpolitikan . Kerajaan Amanatun sudah mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis, seperti pembagian wilayah administratif yang menurun dari raja hingga ke pemerintahan tingkat desa. Ada beberapa kontrak politik yang pernah ditandatangani oleh raja-raja Amanatun dengan pemerintah Hindia Belanda kendati banyak di antaranya yang berlangsung alot dalam memperoleh kesepakatan. Kontrak politik atau korte veklaring antara Kerajaan Amanatun dan pemerintah kolonial Hindia Belanda tersebut antara lain:
  1. Korte veklaring tertanggal 27 Juli 1908, ditandatangani oleh Raja Muti Banunaek pada 14 april 1909.
  2. Korte veklaring tertanggal 22 Agustus 1910, ditandatangani oleh Raja Muti Banunaek pada 14 Juni 1913.
  3. Korte veklaring tertanggal 30 September 1916, ditandatangani Raja Kusa Banunaek pada 23 oktober 1917.
  4. Korte veklaring tertanggal 27 April 1921, ditandatangani oleh Raja Kolo Banunaek pada 21 Februari 1923.
Kontrak-kontrak politik ini selalu dibuat sesuai dengan kebutuhan pemerintah kolonial Belanda di mana posisi raja-raja Amanatun selalu di pihak yang lemah dan dirugikan.
Kelompok suku yang paling dominan di dalam struktur sosial masyarakat Amanatun adalah suku Missa, selain suku-suku lain yang lebih kecil jumlahnya seperti suku Tkesnai, suku Amafnya, suku Nai Usu, dan lain-lainnya. Sumber pemasukan kerajaan adalah dari hasil produksi jagung, cendana, dan lilin, Sebelum agama Nasrani yang dibawa orang-orang/misionaris Portugis disebarkan, penduduk Timor, termasuk warga Kerajaan Amanatun, masih berkeyakinan kepada suatu kepercayaan akan adanya Dewa Langit atau Uis Neno yang dinggap sebagai pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia.
2.2.2 Kerajaan Wehali
            Sejak tahun 1260 telah berdiri kerajaan Wehali, kerajaan ini berdiri seabad sebelum zaman keemasan Majapahit. Kerajaan ini merupakan kerajaan pribumi satu-satunya yang lolos dari pengaruh kerajaaan-kerajaan Hindu-Budha yang sudah bertebaran di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
            Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Timor, sudah tersusun suatu struktur masyarakat dan tata kekuasaan pemerintahan dari kerajaan Wehali maupun kerajaan-kerajaan lainnya. System dan tata pemerintahan di kerajaan Wehali, pimpinan tertinggi adalah Maromak Oan yaitu sebagai pemimpin tertinggi baik masalah duniawi maupun masalah religius. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh para Loro, dan Loro dibantu oleh Nai.  
            Di kerajaan Wehali pernah terjadi perang antara Wewiku dan Wehali, juga antara Liura Likuisaen dengan Wehali dan dapat dikalahkan oleh kerajaan Wehali. Kemudian keadaan di kerajaan Wehali dapat dipulihkan kembali, dan Wehali berkuasa hingga kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Timor. Kerajaan Wehali telah mempersatukan berbagai kerajaan kecil di Pulau Timor, seperti kerajaan Rote, kerajaan Soe, kerajaan Belu, kerajaan Amarasi, kerajaan Amanuban, kerajaan Bonoboro, kerajaan Lautem, dan lain-lain di sekitar pulau Timor.
            Menurut sejarah versi Kolonial Belanda maupun menurut versi pengarung lautan dari Majapahit yang dimuat dalam naskah-naskah Negarakertagama semasa Hayam Wuruk, kerajaan Wehali di Timor sudah eksis. Kerajaan itu kaya akan kayu cendana, minyak wangi cendana, kuda dan rempah-rempah.
            Kekalahan armada Portugis di Makasar yang dihancurkan Belanda. Dan perjanjian Gowa tahun 1661 tentang hukuman Belanda kepada Portugis, hanya boleh berdagang di Timor bagian timur saja. Begitu pula Belanda menghukum Portugis supaya orang-orang Portugal yang sudah bercampur dengan penduduk asli Flores timur yang dikenal sebagai orang-orang Tropaz diusir dari Flores dan diharuskan hanya boleh tinggal di wilayah timur pulau Timor. Perlakuan Belanda terhadap Portugis tidak menggubris kedaulatan raja Wehali yang berdaulat di seluruh pulau Timor. Kerajaan Wehali mempersatukan kerajaan kecil di sebagian besar pulau Timor. Dengan adanya perjanjian gowa, maka Belanda telah mengucilkan Portugis di Nusantara dengan hanya boleh berdagang kayu cendana, kuda, dan rempah-rempah di bagian timur pulau Timor. Dalam hal ini Belanda sama sekali tidak melibatkan wewenang dan kedaulatan raja Wehali, raja orang-orang Timor dari Rote di barat sampai Lautem di timur. Perjanjian Gowa tersebut sekaligus menghancurkan kedaulatan raja Wehali dan hapuslah kerajaan itu, akibat hukuman Belanda yang diberikan kepada Portugis.
2.2.3. Kerajaan Luca
            Kerajaan Luca merupakan suatu bentuk kerajaan kecil sebagai hasil penggabungan dari dua buah kelompok adat yang telah ada sebelumna yaitu, Uma Bot dan Kan Lor. Akan tetapi dalam perkembangannya kerajaaan Luca berhasil tumbuh dan berkembang menjadi suatu kerajaan yang besar dan kuat. Lokasi yang dipilih sebagai pusat pemerintahannya terletak pada daratan Cnua Luca yang berada di dekat sungai Luca. Daerah tersebut secara administratif sekarang masuk dalam wilayah desa Luca, kecamatan Viqueque kabupaten Viqueque. Dalam menjalankan roda pemerintahannya kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja dengan dibantu oleh beberapa penasehatnya (Pahin liurai). Setelah Portugis menguasai seluruh daratan Timor bagian timur, maka seperti kerajaan-krajaan lainnya, kerajaan Luca juga menerima perlakuan yang buruk dari pemerintah Portugis yaitu berupa berbagai bentuk penekanan (penindasan) dan perlakuan yang semena-mena.
Sebagai puncak dari perlakuan yang semena-mena tersebut akhirnya ditanggapi oleh rakyat Luca dengan suatu bentuk pemberontakan yang meletus paa tahun 1779. Pemberontakan itu sendiri dipimpin langsung oleh rajanya. Dalam hal ini untuk membangkitkan semangat rakyatnya, maka raja menggunakan taktik dengan menganggap dirinya sebagai nabi dan ratu adil. Akibat dari taktik ini raja berhasil mendapat simpati dari rakyatnya. Bahkan raja Luca juga mendapatkan dukungan yang luas dari raja-raja pribumi setempat yang ada di sekitanya.
            Pemberontakan yang dipimpin oleh raja Luca akhirnya dapat dipadamkan pada tahun 1785. Meskipun pemberontakan berhasil dipadamkan, tetapi pemerintah Portugis masih tetap menaruh kekhawatiran terhadap sisa-sisa penguasa kerajaan. Dari sikap ini akhirnya pada tahun 1908 pemerintah Portugis berusaha untuk melemahkan kekuasaan yang masih tersisa dengan jalan menurunkan status kerajaan Luca menjadi sebuah desa.Sisa-sisa kerajaan Luca pada masa sekarang masih terdapat di daerah Cnua Luca. Lokasinya berada di sebuah bukit yang tidak begitu tinggi. Di sebelah baratnya terdapat sungai Luca yang mengalir kearah selatan, yaitu kearah pantai selatan yang jaraknya kira-kira 6 Km dari tempat tersebut.
Kerajaan Luca tersebut hanya tinggal berupa puing-puing bangunan dan sedikit bekas benteng atau pagar, tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan Padari Rai-Hun. Masyarakat setempat hingga kini masih tetap mengkeramatkan lokasi sekitar bekas kerajaan Luca tersebut.           Meskipun kerajaan Luca secara resmi telah dibubarkan oleh pemerintah Portugis, tetapi sisa-sisa peradabannya sedikit banyak masih tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa Luca pada saat ini. Bentuk-bentuk peradaban tersebut misalnya berupa penghormatan pada para bekas keturunan raja. Selain itu bentuk lain dari warisan peradaban kerajaan Luca yang masih tampak dalam kehidupan masyarakat misalnya berupa penggunaan bahasa kiasan dalam berbagai bentuk upacara resmi yang berkaitan dengan adat.
2.3. Bentuk Sosial dan Ekonomi Timor Leste
2.3.1 Bentuk Sosial masyarakat dan Kebudayaan Timor Leste
            Menurut beberapa sumber sejarah dan tradisi adat lisan yang ada dan terpelihara secara turun-temurun dikatakan bahwa jauh sebelum kedatangan leluhur para penguasa atau raja-raja Timor, sudah ada penduduk asli Timor yang dikenal dengan nama suku “Melus” orang Melus ini dikenal dengan sebutan Emafatuk oan ai oan (manusia penghuni batu dan kayu). Suku ini masih sangat primitive dan hanya mempergunakan peralatan dari batu dan kayu untuk mempertahankan hidupnya dari alam sekitar.
            Berdasarkan sumber-sumber tulisan dari orang-orang Cina, Portugis, dan Belanda diungkapkan bahwa leluhur para raja Timor berasal dari jazirah Malaka (Malaysia) yang datang ke Timor, beberapa abad sebelum kedatangan bangsa Eropa. Adapun versi lain yang mengatakan bahwa leluhur para penguasa Timor terdiri dari empat suku dan berasal dari jazirah Malaka, yang setelah mengalahkan suku asli Melus, akhirnya menguasai seluruh pulau Timor jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa yang kemudian membagi wilayah ini menjadi 2 yaitu, Timor Portugis dan Timor Belanda. Mereka terdiri dari empat suku yang dikenal dengan nama “Sina Mutin Malaka” dan mendarat untuk pertama kalinya di teluk Wetoh (Maubesi) di Belu selatan kabupaten Belu.  
Sebelum bangsa Portugis menemukan daratan Timor, daerah ini telah dihuni oleh kelompok mayarakat yang beradab. Mereka hidup dalam kelompok yang terpisah-pisah. Akibat dari pemisahan tersebut telah memaksa masing-masing kelompok untuk menyusun dan membentuk budaya sendiri-sendiri. Akhirnya di daratan Timor bagian timur muncul berbagai macam bentuk kebudayaan, tetapi pada dasarnya dilatar belakangi oleh akar budaya yang sama.
            Dalam perkembangannya, masing-masing kelompok masyarakat tersebut saling membentuk tatanan-tatanan yang mengatur kehidupan mereka sendiri-sendiri di dalam suatu bentuk pemerintahan sederhana berupa kerajaan-kerajaan kecil. Tiap-tiap kerajaan biasanya dipimpin oleh seorang penguasa (raja/liura). Tugas pokok dari seorang pemimpin kerajaan adalah menciptakan suatu kondisi kehidupan seperti yang dikehendaki bersama, misalnya kehidupan yang aman, adil, makmur. Tetapi dengan masuknya unsur kebudayaan asing (pemerintah Portugis), maka kehidupan yang sebelumnya dianggap sudah mapan kemudian mengalami perubahan yang sangat drastis. Apalagi setelah adanya campur tangan asing dirasa sangat merugikan rakyat, situasi seperti ini yang pada akhirnya menimbulkan munculnya pemberontakan-pemberontakan.
2.3.2 Bentuk Ekonomi Timor Timur
Timor Timur mengharapkan bisa mengeksploitasikan minyak bumi di Celah Timor (Timor Gap), namun sepertinya sulit untuk mendapatkan pendapatan devisa yang besar di Celah Timor karena Australia telah mengiming-imingi Timor Timur dengan pengelolaanya dan Australia mendapatkan hasil eksploitasinya sebesar 80% dan sisanya diberikan ke Timor Timur. Australia juga telah menghalang-halangi Timor Timur untuk dapat menguasai Celah Timor secara penuh, dengan cara mengulur-ulur penyelesaian perbatasan kedua negara.
Walaupun telah merdeka, Timor Timur masih sangat tergantung dengan pasokan barang-barang dari Indonesia mulai dari sembako sampai bahan bakar minyak (BBM) terutama melalui provinsi Nusa Tenggara Timur. Australia pernah mencoba menguasai distribusi barang-barang kebutuhan sehari-hari tapi gagal karena terlalu mahal dan kurang dikenal rakyat Timor Timur. Selain amat tergantung secara politik kepada mantan penjajah Portugal, Timor Timur mengadopsi mata uang dolar Amerika Serikat sebagai mata uang yang mengakibatkan daya beli rakyat jauh menurun dibandingkan ketika masih menjadi provinsi Indonesia.




BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa'e), yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor. Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis "Timor Leste" Leste : Kerajaan Amanatun, kerajaan Luca, dan kerajaan Wehali. Secara administratif Timor Leste dibagi menjadi 13 distrik, 65 subdistrik, 442 sucos (desa), dan 2.225 aldeias.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas dipandang perlu untuk memberikan saran dan kritik kepada penulis selanjutnya yaitu supaya mengembangkan makalah. Penulis juga sangat menyadari akan segala kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.



DAFTAR PUSTAKA

1.       “Provinsi Nusa Tenggara Timur”, tersedia di www.docstoc.com, data diunduh pada 6 November 2012.

4.      Kebudayaan Timor”, tersedia di www.anakgununglakaan.blogspot.com,
5.       “Kerajaan Amanatun”, tersedia di www.wikipedia.com,